Putusan MK dan Bola Salju Politisasi Bansos

Putusan MK terkait gugatan hasil pilpres adalah krusial untuk masa depan demokrasi Indonesia, salah satunya terkait politisasi bansos dalam pemilu. Adalah amat mengherankan ketika MK menyatakan tidak menemukan bukti yang dapat mengkonfirmasi bahwa penyaluran bansos yang dilakukan Presiden Jokowi ditujukan untuk menguntungkan paslon 02. Terlebih kesimpulan tidak adanya intensi Presiden terkait penyaluran bansos yang menguntungkan paslon 02 ini didapatkan hanya dengan semata bersandar pada keterangan lisan 4 menteri yang dihadirkan ke persidangan MK. Kesimpulan MK ini semakin mengherankan karena MK kemudian meminta agar ke depan bansos tidak lagi dilakukan jelang pemilu. Rekomendasi MK ini secara jelas menunjukkan bahwa MK implisit mengakui adanya potensi keuntungan elektoral yang dinikmati petahana dari penyaluran bansos yang masif jelang pemilu.

Jelang pemilu 2024, selain pemberian bansos reguler seperti PKH, BPNT, KIP dan BLT Desa, pemerintah juga menggulirkan berbagai bansos ad-hoc tambahan, nyaris tiada henti sejak 2023, mulai dari bansos beras antara April – Desember 2023 yang kemudian diperpanjang hingga Juni 2024, kemudian BLT el-nino pada November-Desember 2023 dan kemudian diperpanjang hingga kuartal I 2024, dan pada awal tahun 2024 BLT mitigasi resiko pangan untuk Januari – Maret 2024. Deras nya bansos ad-hoc jelang pilpres jelas sangat bermotif politik pragmatis jangka pendek, dan dengan menggunakan anggaran negara.

Penyaluran bansos yang sangat masif setahun jelang pemilu, tidak hanya bansos reguler namun juga bansos ad-hoc, jelas bukan upaya penanggulangan kemiskinan, bukan pula kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat, namun lebih mencerminkan hasrat politik yang tak tertahankan untuk meraih dukungan elektoral secara instan dalam pemilu. Menjadi sebuah keanehan yang luar biasa jika MK menilai bahwa banjir bansos jelang pemilu tidak memberi keuntungan elektoral bagi Presiden dan pasangan yang didukung Presiden, dimana Cawapres 02 adalah putra kandung Presiden. Ini pembodohan publik yang luar biasa. Kita dipaksa MK untuk menerima bahwa penyaluran bansos yang sangat masif jelang pemilu, yang dilakukan oleh Presiden yang putra kandungnya bertarung sebagai cawapres, semata murni untuk perlindungan sosial. Nalar publik direndahkan oleh kesimpulan MK ini.

Selain menolak dalil-dalil kualitatif, MK juga menolak dalil-dalil kuantitatif terkait masifnya penyaluran bansos jelang pemilu ini. MK memandang tidak ada kejanggalan pada anggaran perlinsos dan memandangnya sebagai bagian dari siklus APBN yang telah diatur penggunaan dan pelaksanaannya. Padahal pola anggaran perlinsos secara jelas menunjukkan pola electoral budget cycle. Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) meningkat signifikan pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020, tumbuh 61,5%. Sesuatu yang wajar menghadapi krisis besar. Karena itu setelah pandemi berlalu, anggaran perlinsos menurun, turun -6,0% pada 2021, turun -1,6% pada 2022 dan diproyeksikan turun -4,,7% pada 2023. Namun jelang pemilu 2024 anggaran perlinsos naik, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada APBN 2024, tumbuh 12,4%. Hal ini secara jelas menunjukkan intensi lain dalam penyaluran dana perlinsos diluar perlindungan sosial.

Adanya intensi lain dalam penyusunan dan penyaluran anggaran perlinsos secara jelas ditunjukkan oleh anggaran bansos. Anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir. Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 naik menjadi Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran bansos sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. Anggaran bansos meningkat signifikan dan sedemikian masif jelang pilpres, padahal tidak ada kegentingan ekonomi yang luar biasa. Tidak ada kepentingan yang sangat mendesak sehingga harus digulirkan bansos ad-hoc jelang pilpres, bansos reguler sudah sangat mencukupi. Hal ini secara jelas menunjukkan adanya intensi lain dalam penyaluran dana bansos diluar perlindungan sosial.

Klaim bahwa el-nino adalah faktor utama yang menyebabkan kegentingan untuk diberikannya berbagai bansos ad-hoc dimana el-nino diklaim Menko Perekonomian menyebabkan produksi beras nasional turun hingga 5,88 juta ton antara Juli 2023 – Februari 2024, adalah tidak valid. Data resmi BPS menyebutkan bahwa produksi beras nasional 2023 adalah 31,10 juta ton sedangkan produksi beras 2022 adalah 31,54 juta ton. Dengan demikian, secara resmi produksi beras nasional sepanjang 2023 hanya turun 439 ribu ton dibandingkan 2022. Dengan dampak el-nino terhadap produksi beras nasional adalah sangat moderat, maka bansos reguler sudah memadai untuk perlindungan sosial. Bansos ad-hoc, terlebih dengan jumlah yang sangat masif, adalah tidak memiliki rasionalitas sosial-ekonomi, karenanya memiliki intensi lain. Hanya motif elektoral yang dapat menjelaskan aliran bansos ad-hoc tiada henti jelang pilpres 2024.

Keyakinan MK bahwa bansos yang disalurkan secara masif jelang pemilu tidak mampu mempengaruhi pilihan pemilih pada pemilu 2024, secara jelas terbantahkan oleh hasil perolehan suara paslon 02. Di lima provinsi utama penerima bansos terbesar seluruhnya dimenangkan paslon 02 secara meyakinkan, yaitu 65,2% di Jawa Timur dengan 4,2 juta keluarga penerima bansos, 58,5% di Jawa Barat (3,7 juta keluarga penerima bansos), 53,1% di Jawa Tengah (3,5 juta keluarga pnerima bansos), 58,3% di Sumatera Utara (1,17 juta keluarga penerima bansos) dan 56,0% di Banten (824 ribu keluarga penerima bansos). Padahal di saat yang sama, dalam pileg, 5 provinsi ini didominasi oleh partai pendukung pasangan 01 dan 03.

Putusan MK terkait politisasi bansos ini setidaknya akan memiliki dua implikasi utama.

Pertama, putusan MK ini akan membuat upaya penanggulangan kemiskinan kita ke depan semakin dangkal dan tidak substantif, yaitu semakin bergantung pada bansos. Politisasi bansos untuk kepentingan elektoral telah mendistorsi arah kebijakan penanggulangan kemiskinan semata yang seharusnya berbasis pada pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas, kini secara menyedihkan mengandalkan pada bansos.

Kedua, putusan MK ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita, tidak hanya di tingkat pusat namun juga di tingkat lokal. Pasca putusan MK ini politisasi bansos dan penggunaan anggaran publik untuk kepentingan elektoral penguasa akan semakin marak ke depan. Suara rakyat akan semakin masif dimanipulasi dengan menggunakan anggaran publik semata untuk melanggengkan kekuasaan penguasa. Terdekat, kita akan menyaksikan politisasi bansos yang masif pada pilkada serentak November 2024 di 37 Provinsi dan 508 Kabupaten-Kota.

You may also like...

Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.