Tapera, Backlog, dan Komitmen Pembangunan Perumahan Rakyat

Terbitnya peraturan pemerintah tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 yang lalu, memicu kontroversi yang luas di masyarakat. Kebijakan pemerintah yang mewajibkan memotong gaji sebesar 3% dari semua pekerja, baik PNS, TNI-POLRI, pegawai BUMN-BUMD, hingga pegawai swasta dan pekerja mandiri, secara umum memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat terutama kelas bawah, bahkan dalam jangka panjang diharapkan akan menghapus backlog (kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan rumah). Secara sederhana ini adalah kebijakan “tabungan wajib” untuk kepemilikan rumah, dimana 2,5% dibayar oleh pekerja dan 0,5% dibayar pemberi kerja. Jika tidak digunakan untuk pembiayaan kepemilikan rumah, maka dana “tabungan” akan dikembalikan di akhir masa kepesertaan.

Kebijakan yang bertujuan menghimpun dan memupuk dana untuk pembiayaan pembangunan perumahan rakyat ini, lahir dari kecenderungan semakin mahalnya harga rumah sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Dengan menyediakan pembiayaan perumahan yang mudah dan murah, diharapkan kepemilikan rumah dapat dijangkau oleh lebih banyak kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun terbitnya kebijakan ini mendapat banyak penolakan yang keras, tidak hanya dari pekerja namun juga dari pengusaha. Ada banyak alasan yang melatari hal ini.

Pertama, karena kebutuhan terhadap pembiayaan perumahan ini tidak dialami semua pekerja. Sebagian besar masyarakat, sekitar 82%, sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Hanya sekitar 18% keluarga Indonesia yang terkategori belum memiliki rumah. Sebagian besar pekerja akan merasa dirugikan jika diwajibkan membayar iuran dalam waktu panjang, dan menghadapi ketidakpastian tentang jumlah dana yang akan mereka terima di masa depan.

Kedua, tata kelola pengelolaan dana publik oleh pemerintah selama ini buruk, sehingga kepercayaan publik adalah rendah. Pengalaman dari program serupa sebelumnya, yaitu Bapertarum, tidak sedikit peserta yang setelah pensiun mengalami kesulitan hanya sekedar untuk mengambil dana tabungan mereka. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, publik melihat terbongkar nya kasus-kasus mega korupsi dalam pengelolaan dana publik yang mengakibatkan kerugian hingga puluhan triliun rupiah di Jiwasraya, Asabri dan Taspen.

Ketiga, pekerja dan pengusaha sudah dibebani dengan potongan yang banyak untuk berbagai alasan, mulai dari potongan PPh 21, iuran jaminan kesehatan, iuran jaminan ketenagakerjaan yaitu jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan pensiun, hingga cadangan untuk pesangon. Tambahan potongan untuk Tapera ini akan semakin memberatkan pekerja dan pengusaha.

Keempat, timing dari kebijakan ini sangat buruk. Pasca UU Cipta Kerja, kenaikan upah buruh adalah sangat rendah, bahkan tak mampu sekedar mengimbangi inflasi. Dengan daya beli dan kesejahteraan yang semakin menurun dalam 4 tahun terakhir dibawah rezim UU Cipta Kerja, maka pemotongan gaji pekerja untuk Tapera akan semakin menekan daya beli pekerja yang sudah lemah. Lebih jauh, kebijakan ini juga akan menambah beban dan memperburuk daya saing pengusaha. Tanpa kebijakan ini saja daya saing dunia usaha banyak yang sudah lemah, bahkan tidak sedikit pabrik besar yang harus melakukan PHK massal karena mengalami kebangkrutan.

Selayaknya pemerintah meninjau ulang kebijakan potongan untuk Tapera ini dan lebih berfokus pada upaya langsung untuk memenuhi kebutuhan rumah 18% keluarga Indonesia menuju zero backlog. Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18% keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. Inilah angka backlog kita.

Tanpa terobosan kebijakan, target untuk mencapai zero backlog pada 2045 berpotensi besar gagal. Backlog 12,7 juta unit rumah ini berasal dari kelas terbawah, dengan daya beli yang sangat rendah. Dengan skema pembiayaan kepemilikan rumah sesederhana dan seringan apapun, kelompok bawah akan selalu sulit dan tidak mampu memiliki rumah.

Jika kita ingin menghapus backlog 12,7 juta pada 2045, dengan tambahan permintaan rumah sekitar 750 ribu unit per tahun, kita membutuhkan pasokan rumah rakyat setidaknya 1,3 juta unit per tahun. Sedangkan pasokan rumah rakyat saat ini hanya di kisaran 250 ribu unit per tahun. Maka kita membutuhkan sejumlah perubahan fundamental untuk pembangunan perumahan rakyat ini.

Beberapa kebijakan fundamental untuk akselerasi pembangunan perrumahan rakyat, yang seharusnya menjadi fokus pemerintah, setidaknya 5 hal utama.

Pertama, dukungan anggaran yang memadai dan dikembalikan nya Kementrian Perumahan Rakyat. Sejak penggabungan Kementrian PU dan Kementrian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan, kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi. Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis, termasuk untuk subsidi perumahan rakyat yang hanya di kisaran 250 ribu unit.

Kedua, komitmen untuk penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di daerah perkotaan dimana lahan terbatas. Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat dapat ditekan. Dukungan penuh dari pemerintah daerah mutlak dibutuhkan disini.

Ketiga, komitmen untuk meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat, harus diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan subsidi, pembebasan PPN, hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan, menjadi krusial disini.

Keempat, revitalisasi BUMN untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumnas, serta PLN dan PDAM untuk jaminan pasokan listrik dan air bersih. Di saat yang sama, dibutuhkan dukungan dari developer swasta terutama melalui kewajiban pembangunan rumah murah.

Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional. Suku bunga KPR kita saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Bila suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran 3%, di Malaysia 5%, di Thailand 6%, maka di Indonesia di kisaran 10%. Dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan. Kredit rumah yang sangat mahal dan beresiko tinggi inilah yanv menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka backlog kita. Menjadi krusial bagi pemerintah dan OJK untuk mengarahkan dan mendorong perbankan agar menurunkan tingkat keuntungan mereka dan terus menurunkan suku bunga KPR serta membuatnya bersifat semakin flat.

You may also like...

Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.