Mundurnya dua pejabat utama otorita IKN jelang peringatan hari kemerdekaan di IKN, menjadi pukulan keras untuk masa depan IKN.
Mundurnya Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN di satu sisi menggambarkan beratnya target pembangunan yang harus dicapai Otorita IKN, dalam waktu yang sangat singkat, dengan kendala-kendala yang begitu banyak. Di sisi lain, mundurnya 2 pejabat kunci Otorita IKN ini merupakan indikasi dari semakin suram nya masa depan IKN. Setidaknya ada tiga faktor utama yang melatari hal ini.
Pertama, mundurnya dua tokoh sentral pembangunan IKN mengindikasikan turun nya komitmen dan dukungan pemerintah di masa depan untuk pembangunan IKN seiring terpilih nya Presiden baru. Presiden terpilih Prabowo dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa program makan siang gratis adalah program utama pemerintahan nya, yang akan langsung dijalankan nya sejak tahun pertama kekuasaan-nya. Di beberapa kesempatan lain Presiden terpilih maupun tim utama nya, secara terbuka menyampaikan bahwa IKN meski tetap dilanjutkan namun tidak lagi menjadi prioritas. Hal ini logis dan tidak terhindarkan karena keterbatasan APBN membuat Presiden terpilih tidak akan bisa menjalankan program makan siang gratis dan pembangunan IKN secara bersamaan karena keduanya sama-sama membutuhkan dukungan anggaran yang sangat besar. Dengan keterbatasan APBN maka pemerintahan baru harus memilih, dan menjadi wajar jika Presiden terpilih akan lebih memprioritaskan program makan siang gratis yang merupakan janji politik terbesar nya.
Kedua, mundurnya dua tokoh sentral pembangunan IKN ini mengindikasikan bahwa turunnya dukungan pemerintahan baru untuk pembangunan IKN di masa depan membuat peluang masuknya investor swasta ke IKN akan semakin sulit sehingga peluang menyelesaikan pembangunan IKN akan semakin kecil. Saat ini, dengan dukungan dan pemberian insentif yang luar biasa besar saja, tidak ada pihak swasta yang berani masuk karena terlalu tinggi nya ketidakpastian megaproyek ini, kecuali segelintir investor domestik yang terlihat memiliki pertimbangan non komersial. Indikasi turunnya komitmen pembangunan IKN dari pemerintahan baru akan membuat pembiayaan pembangunan IKN yang 80% nya diharapkan dari pihak swasta, semakin sulit diraih, bahkan hampir dapat dipastikan akan gagal. Padahal di tahap awal pembangunan IKN, yaitu
pembangunan KIPP (Kawasan Inti Pusat Pemerintahan) seluas 6 ribu hektar harus sepenuhnya bergantung ke APBN atau penugasan ke BUMN. Dengan kemampuan APBN yang sangat terbatas dan kini diindikasikan tidak lagi memprioritaskan IKN, dan disaat yang sama kondisi BUMN karya juga tidak bisa diharapkan karena sudah dibebani utang sangat tinggi akibat penugasan PSN sejak awal pemerintahan Jokowi, maka penyelesaian KIPP yang kira-kira seluas Jakarta Pusat ini tentu menjadi tanda tanya.
Ketiga, mundurnya 2 pejabat tertinggi otoritas IKN ini mengindikasikan bahwa target jangka pendek pembangunan IKN yaitu mengejar seremonial Upacara Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus 2024, telah kehilangan relevansi nya seiring turunnya komitmen pemerintahan baru.
Ambisi Presiden Jokowi mengejar pembangunan KIPP adalah untuk meneguhkan IKN sebagai salah satu legacy utama pemerintahan nya. Hal ini dilakukan dengan cara: 1.) Melakukan seremonial upacara peringatan kemerdekaan 17 Agustus 2024 di IKN, dan 2.) Melakukan pelantikan Presiden-Wapres terpilih 20 Oktober 2024 di IKN. Dengan 2 event penting kenegaraan terlaksana di IKN, maka Presiden Jokowi berharap IKN sebagai legacy pemerintahan-nya ini akan dilanjutkan oleh penerus nya. Mundurnya dua tokoh sentral pembangunan IKN ini membuat dua target jangka pendek Presiden Jokowi untuk IKN ini berpotensi tidak terwujud.
Ke depan, pemerintahan baru seharusnya berani mengevaluasi pembangunan IKN. IKN adalah warisan paling bermasalah dari Presiden Jokowi yang akan menyulitkan siapapun Presiden penerusnya. IKN memiliki banyak masalah dari awal gagasan nya digulirkan hingga kini pembangunan nya dimulai.
Masalah terbesar dari IKN adalah karena ia diputuskan dan direncanakan secara sangat tidak demokratis. Gagasan IKN baru diperkenalkan oleh Presiden Jokowi pada 2019, dan tanpa konsultasi publik kemudian langsung diputuskan menjadi program utama pemerintah.
Tanpa mempedulikan pendapat publik, pemerintah kemudian secara terburu-buru menetapkan UU IKN pada awal 2022 dengan perencanaan yang terlihat ala kadar nya. Padahal IKN ini adalah proyek jangka panjang dengan biaya sangat mahal, dan memiliki implikasi sangat luas karena akan memindahkan ibukota negara. Berselang setahun, pada Oktober 2023, UU IKN direvisi, bukan untuk mengakomodasi aspirasi publik, namun untuk memenuhi keinginan investor!
Lebih jauh, keputusan memindahkan ibukota sejauh 2 ribu kilometer dari Jakarta ke Kalimantan Timur, alih-alih bertujuan mendorong pemerataan pembangunan sebagaimana klaim pemerintah, kini menjadi lebih terlihat sebagai upaya pemerintah untuk menjauhkan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan dari debat publik yang berkualitas. Era pemerintahan Presiden Jokowi yang dipenuhi berbagai pembuatan kebijakan kontroversial, mulai dari revisi UU KPK yang melemahkan KPK hingga penetapan omnibus law Cipta Kerja, telah memunculkan banyak penentangan publik yang luas terutama di Jakarta. Maka memindahkan ibukota secara tiba-tiba lebih terlihat menjadi upaya membungkam aspirasi publik yang selama ini telah berjalan dengan sangat baik di Jakarta.
Maka meneruskan IKN akan menjadi beban sejarah bagi Presiden terpilih mendatang, yang akan dicatat sejarah ikut menjadi pelopor yang mengantarkan Indonesia ke era baru yang tidak demokratis. Presiden terpilih harus benar-benar memikirkan ulang secara serius rencana melanjutkan IKN. Lebih jauh, melanjutkan IKN yang berbiaya sangat mahal secara jelas akan mempersempit ruang gerak Presiden terpilih untuk mewujudkan janji politik nya.
Lebih jauh, tidak mudah pula menarik penduduk untuk masuk dan menetap di IKN. Seandainya pun IKN terbangun, tidak ada jaminan penduduk akan bersedia pindah ke sana. Membangun kota tidak sekedar mendirikan gedung beton dengan desain fisik yang indah saja. Jika penduduk tidak tertarik pindah, IKN yang menelan biaya sangat besar akan berpotensi menjadi “kota hantu” seperti pengalaman ibukota baru Myanmar, Naypyidaw.
Dibutuhkan keberanian politik dari Presiden terpilih untuk mengevaluasi IKN. Memindahkan ibukota adalah bukan hal baru di dunia, banyak negara melakukannya, namun andai pun kita memilih hal tersebut, maka pemindahan ibukota tersebut harus.dilakukan secara berhati-hati dengan perencanaan yang mendalam dan partisipatif, bukan dengan terburu-buru seolah sedang kejar setoran seperti saat ini. Membahas kembali IKN dan pemindahan ibukota ini secara lebih mendalam, dan melalui proses demokratis yang partisipatif, menjadi pilihan yang lebih masuk akal bagi pemerintahan berikutnya.