Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, tantangan terbesar kita kini tidak hanya penanggulangan kemiskinan namun juga mengembangkan kelas menengah. Kelas menengah yang kuat dan dengan ukuran yang semakin besar adalah krusial bagi Indonesia menuju status negara berpendapatan tinggi. Pengalaman negara-negara yang lolos dari jebakan pendapatan menengah menunjukkan bahwa kelas menengah yang besar dan kuat adalah fondasi terpenting menuju negara maju. Namun dalam 5 tahun terakhir, kelas menengah Indonesia justru semakin rapuh dan mengecil.
Dalam 5 tahun terakhir, jumlah penduduk miskin turun dari 21,4 juta orang (8,10 persen) pada Maret 2018 menjadi 19,5 juta orang (7,04 persen) pada Maret 2023. Namun demikian, penduduk yang berada di kelas ekonomi yang rapuh, yaitu rentan miskin dan calon kelas menengah, adalah signifikan dan semakin mendominasi piramida ekonomi. Penduduk rentan miskin bertambah dari 49,9 juta orang (18,87 persen) pada Maret 2018 menjadi 56,2 juta orang (20,30 persen) pada Maret 2023. Di waktu yang sama, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 131,2 juta orang (49,64 persen) menjadi 147,8 juta orang (53,41 persen). Sedangkan penduduk kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi, ternyata justru rapuh dan ukurannya semakin mengecil, yaitu dari 60,8 juta orang (23,01 persen) pada Maret 2018 menyusut menjadi 52,1 juta orang (18,83 persen) pada Maret 2023.
Kelas menengah dicirikan dengan ketahanan ekonomi yang tinggi, terbebas dari kemiskinan, dengan pendapatan mereka beralih dari subsisten ke diskresi konsumsi. Namun dalam 5 tahun terakhir, kelas menengah menjadi satu-satunya kelompok yang mengalami kejatuhan, turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Sebelum pandemi, antara Maret 2018 – Maret 2020, jumlah kelas menengah menyusut hingga 2,8 juta orang (1,55 persen). Pasca pandemi, kejatuhan kelas menengah terjadi semakin deras. Antara Maret 2020 – Maret 2023, jumlah kelas menengah menyusut hingga 5,9 juta orang (2,64 persen).