“Macroeconomic Impact of Covid 19: Migration and The Way Forward-Indonesia”
Pandemi Covid-19 membawa pukulan telak bagi perekonomian negara. Dari aspek pasar, pandemi telah menimbulkan ketakutan pasar (market fear) yang cukup serius, sehingga menimbulkan tekanan yang berarti bagi kurs IDR dan IHSG. Depresiasi rupiah dan IHSG seiring berjalan dengan tren peningkatan jumlah pasien penderita Covid-19 secara eksponensial. Namun, pemerintah cukup responsif dalam menangani dampak tersebut. Penerapan PSBB, stimulus ekonomi, dan intervensi BI yang secara simultan dilakukan sejak April 2020 telah mengembalikan kepercayaan pasar dan membuat kurs IDR dan IHSG kembali pada level yang kondusif.
Pandemi Covid-19 tentu saja tidak mempertentangkan antara sisi kesehatan dan perekonomian. Sisi kesehatan masyarakat yang terganggu akibat pandemi menimbulkan masalah perekonomian jangka panjang yang cukup serius. Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal Hastiadi menyebutkan bahwa variabel kesehatan seperti timing pelandaian kurva kasus harian sangat menentukan arah pertumbuhan ekonomi.
“Pada kuartal dua ini kami proyeksikan pertumbuhannya negatif dengan hasil perhitungan sebesar minus empat persen”, kata Fithra. Fithra juga menyebut bahwa apabila kurva kasus harian baru melandai pada bulan September, pertumbuhan ekonomi 2020 menjadi minus 0,8 persen dengan jumlah pengangguran dua puluh juta jiwa. “Jika kurva melandai di bulan Juni atau Juli, perekonomian bisa tumbuh positif, meskipun proyeksi IMF sendiri untuk Indonesia adalah minus 0,3 persen”, lanjut Fithra.
Sejatinya jauh sebelum adanya pandemi, negara dunia tengah dihadapkan ancaman krisis ekonomi global pada 2020. “Terjadi keynesian supply shock yang tidak hanya pada satu sektor saja akibat pandemi”, tukas Fithra. Hal ini berbeda dengan situasi krisis 2008 silam yang hanya menyerang satu sektor.
Meskipun supply side industri terpukul, pandemi ini justru mendorong perkembangan pada sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). “Ada the winners pada ekonomi, dan itu adalah sektor TIK yang justru terus bekembang”, kata Fithra. “Kita bisa melihat meskipun ada dampak negatif terhadap demand side sektor TIK seperti PHK di GoJek, atau seperti layanan GoLife yang ditutup, namun itu bukanlah indikasi dari kerugian perusahaan tersebut”, lanjut Fithra.
Dalam konteks ini, layanan seperti GoLife bersifat bottom up karena melihat konteks lokal, sehingga supply side justru dapat adaptif meskipun terjadi pandemi Covid-19. Contohnya kegagalan perusahaan Uber beberapa waktu silam terjadi karena tidak memperhatikan aspek kelokalan di Asia Tenggara. Dengan mengambil pelajaran dari pengalaman Uber, Facebook justru dalam konteks kelokalan Indonesia telah menjalin kerja sama dengan GoJek pada layanan seperti delivery services, e-commerce, dan digital wallet.
Belajar dari kasus pandemi flu Spanyol 1918-1920 silam, krisis pandemi telah menyebabkan krisis ekonomi hingga meletusnya perang dunia. Dari pengalaman tersebut, menurut Fithra, Indonesia harus berhati-hati saat ini. “Kita akan lihat apakah kita bisa recovery atau tidak, dan bentuk (kurva pertumbuhan ekonomi) yang paling bagus adalah seperti kurva Z-Shape. Kurva ini mengindikasikan ketika terjadi penurunan, akan segera naik melewati baseline-nya”, tukas Fithra. Meskipun demikian, pandemi Covid-19 ini membuat kemungkinan kurva pertumbuhan ekonomi membentuk V-Shaped, dimana terjadi penurunan dan segera naik kembali. “Yang paling mengerikan adalah L-Shaped, dimana tidak terjadi kenaikan pasca penurunan kurva”, lanjut Fithra.
Fithra juga menegaskan adanya empat aktor ekonomi yang menjadi faktor determinan, yaitu household ability dan willingness to spend, pemerintah pusat dan daerah, kelompok bisnis, dan human capital. “Household ability dan willingness to spend harus ditopang jangka pendek sekalipun dilakukan secara tradisional. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi efek terburuk seperti economic hysteresis (ekonomi yang tidak bisa bangkit lagi)”, tukas Fithra.
Stimulus 300-600 triliun harus diberikan sebagai bentuk intervensi guna perluasan jaminan sosial dan menopang UMKM. “Kita memiliki 120 juta orang middle class dan potensi 20 juta pengangguran yang harus ditopang agar mereka tetap sustain jangka panjang”, tegas Fithra. Tidak hanya dari sisi konsumsi, menurut Fithra, investasi juga harus ditopang agar bisnis dan industri tetap bisa mempertahankan kinerjanya jangka panjang. “Kita harus mempush key sector karena terkait kinerja daerah, diantaranya sector ict, sector transportasi, sector tekstil, sector peternakan, dan sector pertanian.” Tegas Fithra. Fithra juga menyarankan bagi pemerintah daerah lampung untuk mengembangkan produk-produk yang terintegrasi dengan ict dan platform digital, sebab mengingat sektor ict adalah sektor yang berkinerja baik selama pandemi dan dipastikan akan semakin penting peranannya di masa post covid.
Webinar Perekonomian Nasional “Strategi Pemulihan Perekonomian Daerah Pasca Pandemi” dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2020, diselenggarakan oleh ILUNI UI Wilayah Lampung