UKT mahal di banyak PTN membuat banyak calon mahasiswa, terutama dari kelas bawah dan menengah, berpikir ulang untuk masuk ke PTN. UKT mahal juga telah menimbulkan banyak korban di kalangan mahasiswa PTN mulai dari mahasiswa yang kesulitan membayar dan menunggak UKT, bahkan putus kuliah, hingga terjerat utang pinjol. Menyikapi UKT mahal dan dampak buruk yang ditimbulkan nya, respon pemerintah cenderung datar dan normatif. Terkini, pemerintah justru merancang kebijakan yang serupa dengan negara-negara liberal bagi mahasiswa dari keluarga miskin: skema pinjaman pendidikan (student loan).
Pinjaman pendidikan adalah wacana kapitalisme yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Konsep pinjaman pendidikan ini cacat konstitusi. Konstitusi sejak awal telah memberi amanat bahwa salah satu intervensi terpenting negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat konstitusi ini memiliki makna mendalam bahwa pencerahan dan pengembangan kapasitas individu harus dilakukan negara sehingga setiap rakyat akan mampu memberdayakan dirinya, mengembangkan minat dan mendapatkan penghargaan sesuai bakatnya, serta melakukan mobilitas vertikal berdasarkan kerja kerasnya.
Implikasi tugas konstitusi ini adalah sangat jelas: negara harus menyelenggarakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk semua anak bangsa. Semua anak bangsa harus memiliki peluang yang sama untuk mengakses pendidikan.
Kuliah murah bahkan gratis secara jelas adalah lebih mahal dan membutuhkan dukungan anggaran yang masif. Namun manfaat dari pendidikan tinggi bagi perekonomian jauh lebih besar daripada biaya yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. Akses tanpa batas ke pendidikan tinggi menjanjikan manfaat yang lebih besar ke masyarakat secara keseluruhan.
Kewajiban konstitusi bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD, sejatinya adalah jendela kesempatan yang besar untuk mendorong tingkat partisipasi pendidikan tinggi, terutama mahasiswa dari kelas bawah di PTN.
Untuk membuka akses masyarakat miskin pada Pendidikan tinggi, pemerintah sejak 2010 meluncurkan program Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi). Program Bidikmisi didesain bukan untuk beasiswa yang merupakan penghargaan atas prestasi akademik, namun bantuan biaya pendidikan agar anak keluarga miskin dapat mengakses pendidikan tinggi. Dengan memberi peluang berkuliah bagi mahasiswa miskin dengan bantuan biaya pendidikan hingga 8 semester, maka diharapkan rantai kemiskinan dapat diputus dan kesenjangan ekonomi dapat ditekan. Sejak 2020, program Bidikmisi berganti menjadi Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, dengan implikasi pendaftar KIP Kuliah harus merupakan penerima KIP saat SMA atau penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Namun, sebagaimana program bantuan sosial pemerintah lainnya, persoalan kelemahan basis data dan salah sasaran penerima program masih menjadi masalah besar dalam pelaksanaan program Bidikmisi atau KIP Kuliah. Dengan hanya menyasar kelompok miskin, maka kelompok penduduk yang banyak berada di kategori “rentan miskin” dan “hampir miskin” yang akses-nya ke pendidikan tinggi juga terbatas, tidak tercakup dalam program sehingga exclusion error diduga adalah tinggi.
Ketika targeting program adalah sulit dan banyak mengalami salah sasaran, baik inclusion error dan terlebih exclusion error, maka memberikan subsidi secara langsung kepada fasilitas yang diakses rakyat miskin adalah lebih berkeadilan. Membuka akses Masyarakat seluas mungkin ke PTN yang sebagian besar adalah kampus-kampus terbaik di negeri ini, menjadi pilihan terbaik.
Bantuan dana pemerintah ke PTN selama ini terfokus kepada ambisi untuk melambungkan peringkat global dari PTN. Subsidi pemerintah ke PTN seharusnya lebih ditujukan untuk meningkatkan akses mahasiswa miskin terhadap pendidikan tinggi, daripada sekedar mengejar pemeringkatan global yang semu. Dana bantuan pemerintah seharusnya diarahkan kepada PTN yang mampu menunjukkan kinerja tinggi dalam mendorong partisipasi mahasiswa miskin melalui penurunan biaya kuliah, bahkan menggratiskannya. Biaya kuliah gratis merupakan kebijakan terbaik untuk mendorong partisipasi mahasiswa terutama dari kelas bawah.
Lebih jauh, insentif yang lebih besar diarahkan kepada PTN yang tidak hanya memiliki tingkat partisipasi mahasiswa miskin yang tinggi namun juga mampu menjaga agar mereka menyelesaikan studi dan lulus dengan kinerja akademik yang tinggi. Menekan tingkat putus kuliah dan mendorong tingkat penyelesaian kuliah membutuhkan dukungan lebih dari sekedar pembebasan biaya kuliah.
Lebih jauh lagi, insentif terbesar diberikan ke PTN yang tidak hanya memiliki tingkat partisipasi dan tingkat kelulusan tertinggi untuk mahasiswa miskin, namun juga mampu membekali mereka dengan keahlian yang relevan dan dibutuhkan oleh dunia usaha, baik kapasitas manajerial dan profesional maupun kapasitas riset untuk inovasi.