Janji cawapres 02 untuk penciptaan lapangan pekerjaan 19 juta orang dengan melanjutkan hilirisasi tambang dan hilirisasi sektor lain, termasuk sektor digital, berpotensi menjadi janji yang tidak akan terwujud.
Angka pengangguran kita saat ini di Agustus 2023 sebesar 7,86 juta orang (5,32%), setara dengan sebelum pandemi, di Agustus 2019, pengangguran kita 7,10 juta orang (5,28%).
Jika cawapres 02 menjanjikan target penciptaan lapangan kerja 19 juta orang dalam 5 tahun, sebenarnya itu target yang wajar karena dalam 5 tahun terakhir angkatan kerja kita memang bertambah rata-rata di kisaran 3 juta orang per tahun. Jadi untuk sekedar mempertahankan agar angka pengangguran tidak bertambah, kita harus menciptakan lapangan kerja minimal 15 – 16 juta orang dalam 5 tahun.
Namun menjanjikan 19 juta lapangan pekerjaan dengan hilirisasi tambang dan “hilirisasi digital” adalah tidak kredibel. Hilirisasi tambang sangat padat modal dan masih pula dipenuhi tenaga kerja asing, demikian pula sektor digital yang padat modal dan membutuhkan tenaga kerja yang sangat terlatih. Keduanya tidak akan menciptakan lapangan kerja secara luas. Janji 19 juta lapangan pekerjaan menjadi utopia dengan kebijakan seperti itu.
Strategi yang seharusnya diterapkan untuk penciptaan lapangan kerja yang berkualitas secara luas dan menekan angka pengangguran, adalah dengan berfokus pada sektor pertanian, perdagangan dan industri manufaktur. Perbaikan produktivitas dan daya saing sektor-sektor ini akan banyak membantu penciptaan lapangan pekerjaan yang layak secara luas.
Masih tingginya pengangguran dan penciptaan lapangan pekerjaan yang tidak berkualitas, banyak disebabkan oleh kemunduran sektor industri manufaktur kita, terutama industri manufaktur padat karya. Dalam dekade terakhir industri manufaktur kita terutama industri padat karya, mengalami penurunan daya saing sehingga investasi perlahan mulai meninggalkan industri padat karya, dan cenderung semakin menguat di dekade terakhir. Padahal investasi di industri padat karya inilah yang paling besar menyerap tenaga kerja.
Investasi di Indonesia kini lebih banyak masuk ke sektor non tradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya seperti, investasi di sektor properti dan pergudangan (logistik). Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya namun ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan industri pengolahan hilirisasi tambang, yang secara umum bersifat sangat padat modal, dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari China. Inilah yang menjelaskan mengapa penyerapan tenaga kerja di sektor formal semakin menurun saat ini.
Untuk menciptakan lapangan kerja yang layak secara luas fokus para capres-cawapres seharusnya adalah menguatkan perekonomian domestik, tanpa harus mengobral berbagai insentif investasi yang berlebihan sebagaimana UU Cipta Kerja.
Indonesia ke depan tidak perlu terobsesi menarik kembali industri padat karya dan industri ekstraktif dengan mengandalkan upah buruh dan lahan murah kepada investor. Indonesia harus beralih dari export-led growth ke domestic demand led growth dengan menguatkan kembali daya saing sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan berbasis petani – peternak – nelayan rakyat skala keluarga (family farming).
Para capres-cawapres seharusnya berani secara tegas akan mendorong hilirisasi pertanian, perkebunan rakyat, perikanan rakyat dan peternakan rakyat. Industrialisasi berbasis kebutuhan penduduk yang besar seperti negara kita, yaitu strategi demand-led growth, akan jauh lebih berkelanjutan dalam menciptakan lapangan kerja dan lebih mensejahterakan rakyat dibandingkan bergantung pada pasar ekspor dengan strategi export-led growth yang cenderung fluktuatif.