Benci Asing

Fithra Faisal Hastiadi

Artikel ini telah dipublish di https://mediaindonesia.com/opini/354153/menapaki-satu-tahun-jokowi-maruf pada tanggal Selasa 20 Oktober 2020, 04:55 WIB

Di tengah dinginnya musim dingin tahun 1996, Patrick (Pat) Buchanan berjalan menghampiri sebuah toko bunga. Dia ingat untuk membawa sesuatu untuk istrinya Shelley sebagai hadiah valentine. Dari toko bunga tersebut kemudian dia menyadari ada yang salah, kebanyakan bunga mawar yang di jual di toko tersebut berasal dari Amerika Selatan.

Menegaskan Posisi

Sebagai seorang yang beraliran paleo konservatif, Pat kemudian semakin menegaskan posisinya untuk menentang limpahan produk asing yang menyerbu Amerika Serikat. Dia kemudian menjadikan pantauannya ini sebagai tema sentral kampanyenya dalam konvensi Presiden dari Partai Republik, bersaing dengan Bob Dole dan Steve Forbes.

Sebagaimana sejarah mencatat, Pat maju hanya untuk mendapati dirinya dikalahkan secara telak oleh Bob Dole yang akhirnya juga kalah oleh calon dari Demokrat, Bill Clinton.

Apa yang salah? Banyak hal, tetapi salah satunya adalah karena ide-idenya yang terlalu ektrem menantang globalisasi yang saat itu tengah jumawa di Barat. Salah satu ide konyolnya semasa kampanye adalah betapa dia menginginkan untuk mendorong rakyat Amerika untuk memproduksi bunga nya sendiri. Ingat, di bulan Februari pada puncak musim dingin, untuk memproduksi bunga dibutuhkan rumah kaca dan juga para ahli untuk merawatnya secara insentif.

Alih-alih menjual satu buket bunga mawar seharga 10 USD, mungkin harganya akan melonjak menjadi 100 USD, sangat tidak kompetitif! David Ricardo mengajarkan kita bahwa dengan melakukan spesialisasi di sektor-sektor yang unggul, sebuah negara bisa menggenjot produksi hingga mencetak surplus.

Surplus ini berasal dari gap antara kebutuhan dalam negeri dengan besarnya produksi barang di negara tersebut. Surplus produksi ini pada gilirannya bisa di ekspor ke negara lain demi mendapatkan keuntungan perdagangan (gains from trade). Dari sini, keuntungan yang didapat bisa dibelanjakan untuk membeli barang-barang kebutuhan yang tidak bisa secara efisien dihasilkan sendiri. Dengan demikian, bisa kita katakan secara sederhana bahwa impor adalah metode produksi tidak langsung (indirect method of production).

Spesialisasi produksi akan memicu efisiensi, begitu kira-kira mantranya. Dengan dunia yang smakin terhubung dan semakin membutuhkan, peran partner dagang menjadi semakin penting. Bahkan di satu titik tertentu akan memicu terjadinya konvergensi antar negara maju dan negara berkembang, sebagaimana yang disampaikan Richard Baldwin dalam bukunya “The Great Convergence” atau yang juga disampaikan oleh Paul Samuelson mengenai “Factor Price Equalization”. Dengan jaringan rantai produksi yang semakin intensif, negara-negara berkembang yang memiliki keunggulan dari sisi upah murah, menjelma menjadi basis produksi yang solid menopang negara-negara maju. Pada prosesnya, negara berkembang mendapatkan limpahan manfaat dari sisi kapasitas dan juga teknologi untuk berkembang menjadi salah satu pusat produksi yang efisien.

Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan yang dulunya menjadi bagian dari tier kedua dan ketiga jaringan rantai produksi Amerika dan Jepang, kini menjelma menjadi kekuatan Ekonomi dunia. Konvergensi inilah yang kemudian memicu kompleksitas tersendiri di negara-negara maju, terutama di Amerika Serikat.

Amerika serikat yang dulu menjadi patron globalisasi, kini hanya bisa berada dalam selubung negara-negara di Asia, terutama China. Dengan Asia yang semakin merajai rantai produksi global, kampanya anti globalisasi justru muncul dari negara-negara Barat. Terjadinya Brexit dan terpilihnya Trump pada tahun 2016 hanyalah produk dari kampanye tersebut.

Jika Pat gagal pada tahun 1996, kehadiran Trump yang meresonansi kampanye Pat justru mendulang untung pada tahun 2016.Konsekuensi dari semakin efisiennya jaringan produksi di negara-negara berkembang adalah lokasi industri menjadi sangat fleksibel dengan mengalir menuju tempat yang menawarkan ongkos produksi lebih rendah, dalam ilmu ekonomi fenomena ini lebih dikenal sebagai “hollowing out”.

Konsekuensinya untuk negara maju seperti Amerika Serikat, industri kemudian pindah ke negara-negara berkembang seperti Meksiko, China, Brazil dan negara-negara lain yang serupa. Dampak jangka pendeknya adalah terjadi penyesuaian cukup signifikan pada daerah-daerah industri di Amerika Serikat.

Saya kemudian melihat data, Wisconsin, Michigan, Pennsylvania, Tennesse dan Arizona adalah daerah-daerah yang terdampak cukup keras dari fenomena “hollowing out” ini. Bukan kebetulan jika daerah-daerah ini adalah daerah dimana Trump unggul atas Clinton. Secara teori maupun empiris, perdagangan internasional dan jaringan produksi menawarkan keuntungan jangka panjang kepada para pelakunya.

Saya bahkan telah mengulasnya panjang lebar dalam buku saya “Trade Strategy in East Asia” dan juga “Globalization and Production Network in ASEAN” yang keduanya diterbitkan oleh Palgrave Macmillan. Akan tetapi, sepositif apapun dampaknya di jangka panjang, dalam jangka pendek tetap saja ada penyesuaian dimana para pekerja yang kurang terdidik dan memiliki kemampuan terbatas merupakan golongan yang paling berat.

Saya termasuk yang percaya bahwa perdagangan internasional dengan segala turunannya akan membawa kemakmuran terhadap negara-negara yang melakukannya, apalagi sekarang kita hidup di era perjanjian kerjasama skala besar.

Hal ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia sangat tidak efisien. Dengan demikian, wajar saja Indonesia menjadi bulan-bulanan yang berujung pada tekornya neraca dagang.

Tetapi tahun 2020 sepertinya justru menghadirkan peluang untuk Indonesia, meski Covid-19 menjadi hantu perekonomian sepanjang tahun, tetapi dalam konteks jaringan produksi dan juga perdagangan internasional, Pandemi seakan membawa berkah. Ada setidaknya dua hal yang membuat badai pandemi ini menjadi berkah untuk Indonesia, faktor China dan faktor relokasi.

Dengan China yang berhasil menghindari resesi, permintaan dari negeri panda tersebut terhadap barang baku dan kebutuhan industri dari ASEAN justru meningkat. Hal ini terjadi karena Industri mereka masih suboptimal, sehingga diperlukan barang baku dari ASEAN untuk menopang perekonomian mereka, Indonesia juga menuai manfaat yang besar bahkan merangsek diatas dalam kompetisinya dengan sesama negara ASEAN.

Yang berikutnya adalah faktor relokasi, selama pandemi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa tampaknya sadar bahwa ketergantungan produksi yang berlebihan pada China bisa jadi menyakitkan apabila terjadi gejolak di masa mendatang, oleh karenanya mereka kini mencoba untuk mengejar resiliensi dan meninggalkan sementara patron efisiensi untuk mengejar negara-negara alternatif untuk kebutuhan impor dan juga basis produksi.

Bahkan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe Jepang sudah terang-terangan memberikan sebagian dari stimulus pandeminya untuk memindahkan pabrik-pabrik Jepang yang masih ada di China. Tampaknya ini akan menjadi semakin menarik menyimak langkah dari Yoshihide Suga yang mengunjungi Indonesia segera setelah dilantik menjadi perdana Menteri Jepang beberapa waktu yang lalu.

Bukan suatu yang kebetulan ketika beberapa hari yang lalu kita juga mendengar beberapa pabrik Jepang seperti Panasonic Manufacturing, Denso dan Sagami berancang-ancang hengkang dari China menuju Indonesia.

Solid

Perekonomian Indonesia juga tampak solid memasuki 2021, dengan Purchasing Manager Index (PMI) yang konsisten memasuki wilayah ekspansi, bahkan posisi nya di bulan januari adalah yang tertinggi selama 6 tahun terakhir. Begitu juga dengan surplus perdagangan yang justru makin gacor sepanjang pandemic, menyentuh 21,74 Miliar USD, tertinggi sejak tahun 2012.

Menariknya, surplus terjadi bukan hanya karena mandegnya impor selama pandemi, tetapi juga ditolong oleh naiknya kinerja ekspor. Pantauan mesin Artifisial Intelligence kami dari puluhan juta data poin, juga menunjukkan bahwa impor bukan merupakan hal yang paling mengkhawatirkan sepanjang tahun 2020, dan tampaknya posisi perdagangan internasional sepanjang tahun 2021 juga masih akan melaju dengan tren yang cukup baik. Bahkan terhitung ada 37 kasus hambatan perdagangan yang berasal dari 14 negara terhadap produk-produk ekspor Indonesia selama pandemi. Ketika ditakuti dan dihambat, berarti kita sudah berada pada jalur yang tepat.

Benci asing sedikit banyak adalah ekspresi kegelisahan Presiden, namun saya rasa keadaan sudah bergerak ke wilayah yang lebih positif. Namun demikian, kita patut untuk tetap gelisah, karena momentum ini sempit dan bisa saja kemudian kita ketinggalan gerbong lagi. Hanya saja, benci adalah kata yang terlalu keras, meski saya paham kegelisahan Presiden namun para penasihat dan juga pembuat naskah harus bisa melakukan moderasi.

Di dunia yang serba terhubung, satu kata bisa sangat menghancurkan. Benci bahkan bisa menghadirkan retaliasi yang juga bisa jadi lebih keras dari negara partner, yang pada gilirannya menghambat usaha-usaha ekspansi perdagangan dan undangan untuk berinvestasi di Indonesia.

You may also like...

Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.