Mendekati pilpres, warisan kebijakan Presiden Jokowi untuk ketahanan pangan nasional, food estate, semakin banyak mendapat sorotan. Capres Anies Baswedan bahkan telah mengajukan kebijakan alternatif, yaitu contract farming.
Kebijakan food estate berangkat dari gagasan untuk meningkatkan produksi pangan secara efisien dan cepat. Untuk produksi pangan yang efisien dan cepat maka pertanian dilakukan dalam skala yang besar, sehingga membutuhkan lahan yang luas dan modal yang besar. Dengan demikian maka food estate dilakukan di luar Jawa dimana ketersediaan lahan memadai dan melibatkan korporasi besar dan negara sebagai pemodal.
Kebijakan food estate adalah respon atas produksi pangan nasional, terutama beras, yang kini mengalami stagnasi, bahkan cenderung menurun. Produksi beras nasional dalam 5 tahun terakhir cenderung turun, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022. Faktor utama penyebabnya adalah semakin terdesaknya lahan sawah, terutama di Jawa yang merupakan lumbung pangan nasional. Luas lahan baku sawah 2019 yang sebesar 7,46 juta hektar diduga kuat sudah semakin menurun karena konversi lahan sawah adalah masif, terlebih di Jawa yang disesaki PSN (proyek strategis nasional) seperti jalan tol Trans Jawa yang banyak mengorbankan lahan pertanian produktif.
Dari peta lahan sawah dilindungi pada 2021 di 8 provinsi utama beras, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB dan Sumbar, terdapat selisih hingga 136 ribu hektar dengan luas lahan baku sawah di 2019. Tanpa perlindungan, lahan sawah seluas itu sangat mungkin sudah dikonversi dan mengalami alih fungsi lahan. Dengan kata lain, sangat mungkin luas lahan baku sawah 2019 sebesar 7,46 juta hektar sudah mengalami penurunan signifikan sekarang ini.
Kegagalan melindungi alih fungsi lahan pertanian pangan produktif, terutama di Jawa, membuat pemerintah menggulirkan kebijakan barter lahan sawah dari Jawa ke luar Jawa seperti proyek food estate hingga mencetak sawah di lahan rawa. Kebijakan ini salah arah dan beresiko tinggi bagi ketahanan pangan nasional.
Ketika capres Anies Baswedan ingin mengevaluasi dan mengganti kebijakan food estate, hal ini positif dan kita apresiasi. Namun hanya menawarkan contract farming sebagai pengganti food estate adalah solusi yang parsial, tidak lengkap.
Contract farming adalah konsep produksi pangan dimana produksi dilakukan petani atas dasar pesanan dari pembeli. Dengan demikian, sejak awal ada kepastian bagi petani dalam berproduksi terutama terkait penyerapan hasil panen dan harga jualnya. Petani akan semakin aman ketika kontrak dilakukan jangka panjang. Contract farming adalah positif bagi upaya meningkatkan kesejahteraan petani dengan menjamin pembelian hasil panen mereka dengan harga yang wajar. Namun contract farming saja tidak lantas akan menyelesaikan semua masalah pangan kita, terutama upaya mencapai swasembada dan ketahanan pangan.
Untuk mencapai ketahanan pangan, arah kebijakan seharusnya adalah memastikan tidak ada lagi alih fungsi lahan sawah produktif, terutama di Jawa dan daerah lumbung beras utama lainnya seperti Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.
Food estate lahir diatas kegagalan pemerintah melindungi lahan pertanian produktif di Jawa dan hancurnya family farming di Jawa seiring alih fungsi lahan pertanian produktif yang tidak terkendali di Jawa. Maka seharusnya, selain contract farming, di saat yang sama, menjadi krusial untuk mempertahankan lahan sawah dan petani Jawa dari desakan kepentingan komersial, termasuk dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah yang sangat masif di Jawa. Mendorong produksi pangan dan mencapai ketahanan pangan adalah mengembangkan family farming dan melindungi sawah di Jawa, bukan dengan food enterprise dan food estate di luar Jawa.
Lebih jauh, untuk menjamin agar contract farming menguntungkan petani, dibutuhkan kebijakan komplemen yang seharusnya berjalan beriringan yaitu pembentukan dan penguatan koperasi petani. Dalam contract farming, jika daya tawar petani rendah, maka kontrak akan cenderung menguntungkan pembeli, yang umumnya adalah perusahaan besar. Daya tawar petani akan kuat jika mereka berhimpun dalam koperasi. Maka contract farming saja tidak memadai, ia juga harus diikuti dengan penguatan kelembagaan ekonomi petani, yaitu koperasi petani.