Bansos untuk rakyat miskin memiliki banyak rasionalitas, mulai dari mencegah insiden kemiskinan, menjaga daya beli dan tingkat konsumsi minimal, hingga menjaga kemandirian dan semangat orang miskin untuk keluar dari kemiskinan. Dan di masa krisis, eksistensi bansos menjadi krusial bagi rakyat miskin untuk bertahan hidup.
Namun, meski dibutuhkan terutama oleh rakyat miskin yang rentan dan tidak mampu bekerja, namun bansos semata tidak akan pernah efektif menjadi instrumen penanggulangan kemiskinan. Bansos harus selalu diikuti diiringi dengan program penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, terutama di sektor pertanian, perdagangan dan industri manufaktur. Seiring pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan pekerjaan secara luas, bansos harus semakin diturunkan cakupan dan besaran intervensi. Semakin turunnya peran dan ukuran bansos dari waktu ke waktu menjadi indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Menjadi menyedihkan jika capres hanya menawarkan bansos sebagai program penanggulangan kemiskinan.
Ketika kini peran dan ukuran bansos terus besar, dan bahkan semakin diperluas, hal ini implisit menandakan lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan pekerjaan secara luas, sehingga rakyat harus terus dibantu dan ditopang kehidupannya oleh negara.
Sebagai misal, jumlah keluarga penerima PKH pada 2015 adalah 3,5 juta keluarga, pada 2016 jumlah penerima melonjak menjadi 6 juta keluarga, dan sejak 2018 dilipatgandakan lagi menjadi 10 juta keluarga. Demikian pula jumlah penerima BPNT terus meningkat, dari kisaran 15 juta keluarga pada 2015, meningkat menjadi kisaran 21 juta keluarga sejak 2020.
Melonjaknya cakupan dan besaran bansos seperti PKH dan BPNT (bansos sembako) ini bukan indikasi besarnya komitmen menanggulangi kemiskinan, namun justru menunjukkan lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas sehingga rakyat miskin harus terus ditopang konsumsi dan daya beli nya dengan bansos.
Lebih jauh, bansos yang besar dan berkelanjutan, rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik pragmatis jangka-pendek: menjadi arena perburuan rente ekonomi sekaligus mendapatkan simpati publik untuk kepentingan elektoral penguasa, fenomena yang umum dikenal sebagai electoral budget cycles.
Jelang pemilu 2019, kenaikan anggaran kemiskinan telah terlihat sejak tahun 2018 dan berpuncak di 2019. Jelang pemilu 2024, meski presiden petahana tidak lagi ikut bertarung, namun partai dan capres “yang didukung petahana” berkepentingan dengan kenaikan anggaran kemiskinan ini.
Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) meningkat signifikan pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020, tumbuh 61,5%. Namun setelahnya anjlok, turun -6,0% pada 2021, turun -1,6% pada 2022 dan diproyeksikan turun -4,,7% pada 2023 ini. Barulah jelang pemilu 2024 anggaran perlinsos naik, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada RAPBN 2024, tumbuh 12,4%. Ini adalah fenomena electoral budget cycle.
Dengan kemiskinan yang luas, electoral budget cycles menjadi fenomena yang sering muncul di banyak pemilu di Indonesia, baik nasional maupun lokal, menjadi instrumen bagi petahana untuk mempertahankan kekuasaan atau melanggengkan dinasti politik-nya.
Hingga kini, angka kemiskinan kita masih tinggi. Dengan ukuran kemiskinan resmi dari BPS, pada Maret 2023 angka kemiskinan nasional kita masih mencapai 9,36%. Secara aktual, angka kemiskinan kita tercermin dari jumlah penerima bansos, yaitu mencapai 35-40%.
Dengan kemiskinan yang tersebar luas, bansos akan selalu mendatangkan “keuntungan elektoral” bagi penguasa, terlebih ketika bansos mengambil bentuk program yang bersifat “bagi-bagi uang”. Dengan sekitar 35-40% penduduk menerima bansos, maka keuntungan elektoral petahana dan calon yg didukung petahana dipastikan adalah signifikan.
Utas Kebijakan
Bansos, Penanggulangan Kemiskinan dan Pilpres
Bansos untuk rakyat miskin memiliki banyak rasionalitas, mulai dari mencegah insiden kemiskinan, menjaga daya beli dan tingkat konsumsi minimal, hingga menjaga kemandirian dan semangat orang miskin untuk keluar dari kemiskinan. Dan di masa krisis, eksistensi bansos menjadi krusial bagi rakyat miskin untuk bertahan hidup.
Namun, meski dibutuhkan terutama oleh rakyat miskin yang rentan dan tidak mampu bekerja, namun bansos semata tidak akan pernah efektif menjadi instrumen penanggulangan kemiskinan. Bansos harus selalu diikuti diiringi dengan program penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, terutama di sektor pertanian, perdagangan dan industri manufaktur. Seiring pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan pekerjaan secara luas, bansos harus semakin diturunkan cakupan dan besaran intervensi. Semakin turunnya peran dan ukuran bansos dari waktu ke waktu menjadi indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Menjadi menyedihkan jika capres hanya menawarkan bansos sebagai program penanggulangan kemiskinan.
Ketika kini peran dan ukuran bansos terus besar, dan bahkan semakin diperluas, hal ini implisit menandakan lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan pekerjaan secara luas, sehingga rakyat harus terus dibantu dan ditopang kehidupannya oleh negara.
Sebagai misal, jumlah keluarga penerima PKH pada 2015 adalah 3,5 juta keluarga, pada 2016 jumlah penerima melonjak menjadi 6 juta keluarga, dan sejak 2018 dilipatgandakan lagi menjadi 10 juta keluarga. Demikian pula jumlah penerima BPNT terus meningkat, dari kisaran 15 juta keluarga pada 2015, meningkat menjadi kisaran 21 juta keluarga sejak 2020.
Melonjaknya cakupan dan besaran bansos seperti PKH dan BPNT (bansos sembako) ini bukan indikasi besarnya komitmen menanggulangi kemiskinan, namun justru menunjukkan lemahnya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas sehingga rakyat miskin harus terus ditopang konsumsi dan daya beli nya dengan bansos.
Lebih jauh, bansos yang besar dan berkelanjutan, rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik pragmatis jangka-pendek: menjadi arena perburuan rente ekonomi sekaligus mendapatkan simpati publik untuk kepentingan elektoral penguasa, fenomena yang umum dikenal sebagai electoral budget cycles.
Jelang pemilu 2019, kenaikan anggaran kemiskinan telah terlihat sejak tahun 2018 dan berpuncak di 2019. Jelang pemilu 2024, meski presiden petahana tidak lagi ikut bertarung, namun partai dan capres “yang didukung petahana” berkepentingan dengan kenaikan anggaran kemiskinan ini.
Anggaran perlindungan sosial (perlinsos) meningkat signifikan pada masa pandemi, dari Rp 308 triliun pada 2019 menjadi Rp 498 triliun pada 2020, tumbuh 61,5%. Namun setelahnya anjlok, turun -6,0% pada 2021, turun -1,6% pada 2022 dan diproyeksikan turun -4,,7% pada 2023 ini. Barulah jelang pemilu 2024 anggaran perlinsos naik, dari Rp 439 triliun pada 2023 menjadi Rp 494 triliun pada RAPBN 2024, tumbuh 12,4%. Ini adalah fenomena electoral budget cycle.
Dengan kemiskinan yang luas, electoral budget cycles menjadi fenomena yang sering muncul di banyak pemilu di Indonesia, baik nasional maupun lokal, menjadi instrumen bagi petahana untuk mempertahankan kekuasaan atau melanggengkan dinasti politik-nya.
Hingga kini, angka kemiskinan kita masih tinggi. Dengan ukuran kemiskinan resmi dari BPS, pada Maret 2023 angka kemiskinan nasional kita masih mencapai 9,36%. Secara aktual, angka kemiskinan kita tercermin dari jumlah penerima bansos, yaitu mencapai 35-40%.
Dengan kemiskinan yang tersebar luas, bansos akan selalu mendatangkan “keuntungan elektoral” bagi penguasa, terlebih ketika bansos mengambil bentuk program yang bersifat “bagi-bagi uang”. Dengan sekitar 35-40% penduduk menerima bansos, maka keuntungan elektoral petahana dan calon yg didukung petahana dipastikan adalah signifikan.