Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, diatas 5%, adalah krusial bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Menjadi wajar jika semua capres-cawapres menetapkan target tinggi untuk pertumbuhan ekonomi. Target 5-6% adalah target optimis yang cukup realistis, sedangkan target 7-8% adalah target ambisius yang membutuhkan narasi besar perubahan.
Dengan 2 pasang capres-cawapres lebih banyak mengusung narasi “melanjutkan”, sulit bagi kita untuk melihat adanya program yang benar-benar menjanjikan untuk meruntuhkan “dekade kutukan pertumbuhan 5%” era Presiden Jokowi.
Sekedar melanjutkan program pemerintah saat ini tidak akan kredibel untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 7%. Untuk mengejar posisi Indonesia sebagai negara maju di 2045, kita mutlak membutuhkan narasi dan gagasan besar yang baru, karena strategi pembangunan saat ini terbukti gagal mentransformasi perekonomian dan gagal mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir ini. Sepuluh tahun memerintah, Presiden Jokowi gagal mencapai target yg dijanjikan nya untuk pertumbuhan 7%.
Dalam 10 tahun terakhir, ketika kita menikmati bonus demografi sejak 2012 dengan periode puncaknya pada 2020 – 2030, pertumbuhan ekonomi kita justru semakin turun. Pada 2005-2014, rerata pertumbuhan ekonomi kita 5,8%, dan jika kita tdk perhitungkan periode krisis global 2008 mampu mencapai 5,9%. Namun pada 10 tahun terakhir, pada 2015-2024, rerata pertumbuhan ekonomi kita diperkirakan hanya di kisaran 4,2%. Andaipun kita keluarkan periode pandemi 2020-2021, rerata pertumbuhan ekonomi kita tetap diperkirakan hanya akan di kisaran 5,1%, jauh dari target 7%, dan bahkan lebih rendah dari periode Presiden SBY.
Faktor yang paling membedakan negara – negara yang terjerat dalam middle income trap dengan negara yang sukses menjadi negara maju adalah kemampuan memanfaatkan bonus demografi. Ketika mendapat bonus demografi dengan berlimpahnya jumlah penduduk usia produktif, Korea Selatan tumbuh diatas 7 persen per tahun. Demikian pula Jepang dan China, tumbuh tinggi seiring bonus demografi, bahkan China pertumbuhan ekonomi nya menembus dua digit.
Sedangkan kita, sudah lebih sepuluh tahun sejak kita menikmati bonus demografi pada 2012 namun pertumbuhan ekonomi kita stagnan di kisaran 5 persen. Puncak bonus demografi berakhir pada 2030. Pasca 2030, Indonesia akan mulai memasuki fase maturity, dan pasca 2045 memasuki fase ageing society. Waktu tersisa untuk meraih posisi sebagai high income country hanya tersisa 7 tahun sebelum puncak bonus demografi berakhir, dan hanya tersisa 23 tahun sebelum kita memasuki fase penduduk yang semakin menua, ageing society.
Pasangan capres-cawapres belum menunjukkan apa strategi reindustrialisasi yang lebih baik dari sekedar hilirisasi tambang. Hal ini karena strategi hilirisasi tambang yang kini digencarkan pemerintah terbukti gagal mentransformasi ekonomi dan mengakselerasi pertumbuhan kita. Dengan hilirisasi tambang yang demikian gencar bahkan ugal-ugalan, pertumbuhan ekonomi kita tetap stagnan di kisaran 5%.
Kegagalan memanfaatkan bonus demografi berakar dari lemahnya pendalaman industri, bahkan sejak 2000-an kita mengalami gejala deindustrialisasi. Industri manufaktur adalah sektor penting yang menciptakan lapangan kerja secara luas dengan pendapatan tinggi. Lemahnya sektor industri dan rendahnya kualitas angkatan kerja membuat bonus demografi tidak memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi kita. Kita terjebak sebagai negara berpenghasilan menengah. Daya saing perekonomian yang kian tergerus, industri nasional yang lemah dan tidak mandiri, dominasi asing dalam penguasaan aset strategis bangsa, hingga lemahnya penguasaan sains dan teknologi, adalah gejala struktural yang mengkonfirmasi middle income trap. Dan jantung permasalahan dari middle income trap ini adalah lemahnya kapabilitas inovasi industri nasional, yang berujung pada rendahnya produktivitas bangsa. Deindustrialisasi adalah indikator yang paling jelas menunjukkan kelemahan industri nasional kita yang hingga kini masih mengandalkan industri padat karya sebagai komoditas ekspor utama disamping komoditas seperti batubara dan sawit.
Pemerintahan era Presiden Jokowi berupaya menahan deindustrialisasi dan berusaha membalikkan nya menjadi reindustrialisasi melalui kebijakan hilirisasi tambang. Namun kebijakan ini terlihat semu mendorong inovasi karena sangat mengandalkan modal dan teknologi asing tanpa terlihat upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik. Dalam kasus hilirisasi nikel, bergantung secara berlebihan pada kekuatan pasar global, yang seringkali hanya memanfaatkan sumber daya alam yang murah dan pasar domestik yang besar melalui proteksi, di tengah sistem politik berbiaya mahal, telah membuat perubahan struktural berjalan lambat dan tidak menghasilkan keunggulan komparatif. Hilirisasi nikel berhenti pada produk setengah jadi, tanpa pendalaman industri yang berarti. Indonesia terus menjadi negara konsumen, paling jauh hanya mampu merakit, tidak pernah mampu mencipta. Struktur industri kita terus dangkal.