Salah satu janji populis para capres yang paling populer dalam perhelatan pilpres 2024 adalah janji Indonesia bebas stunting dari pasangan Prabowo – Gibran melalui pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak dan balita serta ibu hamil. Dalam dokumen visi-misi pasangan ini, program pemberian makan siang dan susu gratis ini menargetkan 80 juta penerima manfaat mulai dari siswa pra-SD, SD, SMP hingga SMA dan pesantren. Janji populis ini semakin populer setelah cawapres Gibran seringkali membagi-bagikan susu gratis kepada masyarakat di kegiatan kampanyenya, berupa susu UHT kemasan produksi pabrik besar.
Kampanye capres dengan bagi-bagi susu UHT gratis dengan tujuan untuk mencegah stunting memperlihatkan kapasitas pembuatan kebijakan publik yang terbatas, bahkan cenderung menyesatkan, sehingga berpotensi menimbulkan kesalahan persepsi yang fatal bagi masyarakat awam yaitu menganggap bahwa susu sapi kemasan dapat “mengatasi” masalah stunting. Bahkan target penerima susu gratis tersebut diberikan kepada anak-anak secara acak tanpa memperhatikan usia dan kondisi fisiknya.
Untuk menurunkan prevalensi stunting, yang menjadi fokus sasaran program seharusnya adalah anak usia nol sampai lima tahun yang memiliki kekurangan gizi kronis dan terbukti. Di usia 0-2 tahun atau seribu hari pertama kehidupan (golden age) anak lebih diutamakan mengkonsumsi ASI dan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan. Pemberian susu kemasan bubuk atau cair yang diolah dengan teknologi ultra-hight temperature (UHT) hanya diperuntukan bagi anak usia di atas 2 tahun, dan itupun dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor fisik dan kemampuan anak dalam mencerna susu.
Program pemberian makan siang dan susu gratis juga akan membebani anggaran secara sangat signifikan karena diperkirakan akan membutuhkan dukungan anggaran hingga Rp 400 triliun per tahun. Anggaran ini sangat fantastis dibandingkan dengan anggaran percepatan penurunan stunting yang rata-rata dalam 3 tahun terakhir hanya di kisaran Rp 30 triliun per tahun. Anggaran Rp 400 triliun akan jauh lebih bermanfaat dan efektif untuk menanggulangi stunting jika program menjadikan daerah sebagai ujung tombak dalam intervensi gizi. Masalah stunting tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan program top-down seperti pemberian makan siang dan susu gratis. Perbedaan sifat dan tingkat permasalahan stunting antar daerah, membuat intervensi gizi untuk menanggulangi stunting akan jauh lebih efektif bila dilakukan secara lokal dengan menguatkan kapasitas sistem kesehatan daerah terutama puskesmas.
Akar permasalah stunting di Indonesia banyak terkait dengan kemiskinan dan lonjakan harga pangan yang berimplikasi pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan kalori, gizi, dan nutrisi pada tingkat minimal. Masalah stunting ini diperparah dengan perilaku konsumsi pangan yang tidak sehat, termasuk gaya hidup yang salah. Maka, untuk menurunkan prevalensi stunting, selain dengan memperkuat kebijakan pangan murah terutama pangan tinggi protein berbasis sumberdaya lokal, serta penguatan kapasitas puskesmas, menjadi krusial juga bagi pemerintah untuk mengubah perilaku dan gaya hidup keluarga penderita stunting seperti dengan menurunkan konsumsi rokok, terutama konsumsi rokok oleh masyarakat miskin.