Mengungkit Ekonomi Melalui Industrialisasi

Fithra Faisal Hastiadi

Direktur Eksekutif Next Policy

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

Sebagai negara besar dengan posisi yang strategis secara geopolitik dan ekonomi, Indonesia sejatinya menyimpan segudang potensi. Betapa tidak, tak kurang dari Mckinsey dan PWC yang meramal Indonesia akan menjadi negara yang  akan matang secara ekonomi mulai tahun 2030 nanti seiring dengan semakin ajegnya posisi Indonesia di 7 besar dunia. Hal ini sudah selayaknya menjadi basis yang bisa diunggulkan Indonesia dalam menghadapi kontestasi antara negara. Dari beberapa sektor bisa diunggulkan, industri manufaktur sepertinya layak ditengok. Berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA) Index, sektor ini memiliki peluang yang cukup baik untuk bisa dikembangkan lebih lanjut. Sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, pengembangan industri dinilai sangat strategis karena beberapa hal diantaranya yaitu memiliki keterkaitan yang luas dengan sektor ekonomi lainnya, menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup banyak, dapat menjadi penggerak  pengembangan industri kecil menengah, dari penggunaan teknologi sederhana sampai teknologi tinggi. Namun jika dibandingkan dengan negara-negara di lingkup ASEAN, nampaknya peluang tersebut hanya akan sebatas peluang jika Indonesia tidak serius membenahi faktor-faktor yang memiliki potensi untuk merintangi. Ditambah lagi secara institusi Indonesia dibayangi oleh korupsi dan etika buruk badan usaha pemerintah dalam hal menjalankan bisnis. Dengan  melihat World Governance Indicator (WGI), kinerja Indonesia dibandingkan beberapa negara di Asia Pasifik masuk dalam kategori buruk. Bisa dilihat bahwa Indonesia hanya setara dengan kelompok terbawah seperti Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar. Fakta ini merupakan sebuah hal yang cukup mengkhawatirkan mengingat Indonesia dianugerahi sumber daya yang melimpah namun belum ditopang oleh kualitas tata kelola yang memadai.

Untuk tidak menambah masalah, Pandemi Covid-19 memberikan guncangan besar terhadap perekomian Indonesia. Covid-19 ini semakin memberikan tekanan pada sisi supply (Industri manufaktur) yang memang sudah bermasalah bahkan sejak beberapa tahun terakhir. Meminjam ungkapan Jean Baptise Say yang kesohor: “Supply Creates Its Own Demand” dimana stimulus dari sisi supply akan memberikan efek pengganda bagi perekonomian, maka tekanan pada sisi supply ini juga bisa menghadirkan fenomena yang disebut “Keynesian Supply Shocks”. Fenomena ini cukup memberi masalah karena tekanan berlebihan pada sisi supply ini kemudian memberikan tekanan lintas sektor, sebagai akibat dari sisi demand yang juga ikut terdampak. Akibatnya, efek domino akan terjadi, semua sektor ekonomi tanpa terkecuali akan terdampak cukup signifikan.

Rangkaian simulasi yang dilakukan Next Policy menghasilkan skenario pertumbuhan ekonomi terberat mungkin saja terjadi jika mitigasi pandemi tidak bisa dilakukan secara optimal. Dalam simulasi ini, skenario pertumbuhan minus 0.8 persen yang berimplikasi pada peningkatan angka penangguran hingga 20 juta orang.

Untuk bisa melaju dan sembuh dari penyakit, Indonesia tidak bisa tidak, harus membenahi kinerja Industrinya yang hingga sekarang masih dibayangi oleh tren deindustrialisasi sejak awal tahun 2000-an. Meskipun kebijakan yang dikeluarkan selama beberapa tahun terakhir telah secara alami menahan permintaan domestik, namun ekspor yang lesu, akibat deindustrialisasi yang prematur, telah mengganggu tiap upaya untuk mengurangi defisit neraca berjalan. Untungnya, konsumsi domestik tetap melambung di tengah tekanan eksternal yang berat. Akan tetapi, penting untuk dicatat bahwa pertumbuhan konsumsi agak di bawah rata-rata.

Tren ini lah yang pada gilirannya menyebabkan Indonesia kehilangan momentum jaringan rantai produksi global dan semakin tertinggal dengan sejawat dekatnya. Menurut penelitian dari Ilmi dan Hastiadi ditahun 2019, Indonesia bahkan sudah tertinggal dari Filipina dan Vietnam dalam ranking partisipasi jaringan produksi global industri.  Apalagi jika melihat tren Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang terus meningkat hingga lebih dari 6 jauh diatas level sebelum krisis (periode 1993-1996) yang sebesar 3.8 dan salah satu yang terburuk di ASEAN. Hal ini menandakan bahwa perekonomian Indonesia sangat tidak efisien.

Dalam mencari solusi atas permasalahan deindustrialisasi, pemerintah lantas berfokus pada pembangunan infrstruktur, namun strategi ini tergolong setengah tepat. Jika melihat dari arah kebijakan, pembangunan infrastruktur secara masif cenderung sejalan dengan kebutuhan untuk memperkuat industri. Akan tetapi, sebagaimana argumentasi Vernon et al (2018) dalam Artikelnya yang berjudul “The Global Distribution of Economic Activity: Nature, History, and the Role of Trade”, pembangunan infrastruktur perlu disesuaikan dengan karakter daerah yang tentu kebutuhannya sangat bervariasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang menopang produktivitas dan logistik perlu diprioritaskan kepada daerah-daerah yang terlihat jelas aktifitas ekonominya serta menopang industialisasi, tidak seperti sekarang yang terkesan sekedar mengejar target populis. Kue ekonomi harus dibuat lebih besar dengan memprioritaskan pertumbuhan, baru kemudian kita berbicara pemerataan.

Sebagai kompetitor terdekat, sudah selayaknya Indonesia dapat belajar dari proses industrialisasi di Thailand sehingga bisa mewujudkan dirinya sebagai pusat industri otomotif di ASEAN. Sebelum menjelma menjadi raksasa otomotif, Thailand memulainya dengan sebuah kampanye positif untuk menjadi “Detroit of Asia’. Demi mewujudkan visi besar tersebut, maka Thailand membangun infrastruktur penunjangnya dari hulu ke hilir. Menarik jika melihat awal dari proses Thailand menuju industrialisasinya, mereka memulainya dengan strategi substitusi impor dengan harapan bisa mengikuti jejak negara-maju seperti Jepang dan Korea yang berhasil dengan strategi serupa. Namun, sebagaimana argumen dari Aswicahyono (2000), terdapat strategy switching, dimana kemudian Thailand dengan cepat menggeser paradigma industrialisasinya dengan menjadikan negaranya sebagai hub produksi di kawasan. Pada gilirannya membuat investor berbondong-bondong untuk memasuki sektor ini sehingga membentuk klaster industri otomotif yang efisien.

Sebagai perbandingan, biaya ekspor perkontainer di Indonesia adalah sebesar 600 USD sementara di Singapura biayanya hanya sebesar 460 USD. Kongesti yang buruk di pelabuhan adalah salah satu sebab dari mahalnya biaya ekspor ini. Sementara itu, sebagai bahan perbandingan lagi, Indonesia yang memiliki 16.000 pulau hanya memiliki 14.267 kapal (tankers, curah, kargo, kontainer) sementara Singapura yang ukurannya tidak lebih besar dari Jakarta memiliki 89.697 kapal. Buruknya logistik di Indonesia tentunya merupakan sebuah permasalahan struktural yang mesti dibenahi, jika tidak gejala pelambatan ekspor yang sudah berlangsung sejak tahun 2012 akan terus membebani perekonomian.

Kinerja industri yang mandeg juga banyak dikontribusikan oleh rendahnya kinerja dari faktor produksi, terutama tenaga kerja. Hasil analisis Bank Dunia dalam Laporan Ketenagakerjaan di Indonesia telah memberikan berbagai dimensi permasalahan ketenagakerjaan di indonesia dimana diantaranya adalah peraturan tenaga kerja yang kaku yang telah menghambat kemampuan mendatangkan investasi dan buntunya upaya reformasi ketenagakerjaan dan menghambat kemampuan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Pesangon untuk PHK merupakan sebuah contoh bagaimana kebijakan ketenagakerjaan yang kaku dan lebih didorong oleh opini dan aksi massa. Sebagai konsekuensinya, biaya pesangon menjadi semakin besar dan merupakan salah satu yang paling tinggi dalam standar internasional (Manning dan Roesad, 2007). Menurut Survei Ekonomi OECD, Biaya buruh di Indonesia memang mengalami peningkatan lebih cepat di Indonesia dibanding Negara ASEAN lainnya. Secara khusus, hal ini merefleksikan tingginya upah minimum di beberapa provinsi. Dengan pertumbuhan produktivitas buruh Indonesia yang lekat tanah (sekitar 3 persen setahun dan lebih rendah dibanding inflasi), maka upah buruh Indonesia memang tehitung mahal sehingga memicu investment diversion. Hal ini diperparah dengan kualitas regulasi yang buruk serta peraturan yang tidak jelas implementasi nya dilapangan.

Meskipun ada penambahan jenis pekerjaan, lapangan kerja informal—sering dikenal sebagai pekerjaan dengan produktivitas dan penghasilan rendah—tidak berubah. Kesempatan kerja bagi orang muda (usia 15-24 tahun) masih belum berkembang. Pengangguran di kalangan pemuda ini agak mengejutkan sebab rasio terhadap total lapangan kerja cukup dominan (62 persen). Selain itu, dengan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita saat ini (3,9 persen), keluar dari perangkap pendapatan kelas menengah merupakan upaya yang agak sulit tercapai. Negeri kita memerlukan setidaknya 6 hingga 7 persen pertumbuhan pendapatan per kapita agar dapat diklasifikasikan sebagai salah satu negara berpenghasilan tinggi (Hardiana dan Hastiadi, 2019). Mempertimbangkan periode bonus demografi, kita akan kehilangan momentum jika pemerintah masih memandang ini sebagai bisnis seperti biasa. Indonesia akan menjadi tua sebelum kaya.

Pengembangan pasar kerja di Indonesia sering dibicarakan namun sulit dimonitor keberadaannya. Saat ini data ketenagakerjaan di Indonesia sangat tergantung pada hasil Survei Angkatan Kerja Nasional. Data tersebut bersifat makro sehingga tidak dapat digunakan secara langsung untuk menjadikan target program penciptaan lapangan kerja berkualitas. Padahal kualitas tenaga kerja adalah faktor kunci untuk menghadapi persaingan di pasar global.

Kualitas tenaga kerja yang memadai dalam hal mutu akan meningkatkan produktivitas sehingga mampu mendorong peningkatkan upah atau gaji. Disamping itu diperlukan pula penciptaan lapangan kerja berkualitas (decent jobs) dari sisi usaha mikro, kecil, menengah dan besar. Oleh karena itu pengembangan sisi kualitas tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja berkualitas seharusnya merupakan target proses monitoring dan evaluasi berbagai program dengan target penciptaan lapangan kerja berkualitas.

Sampai saat ini strategi ketenagakerjaan untuk menciptakan pasar kerja yang kompetitif agar mampu menghasilkan lapangan kerja berkualitas masih terkendala karena antara lain: rendahnya kualitas manajerial agar menghasilkan pendataan yang akurat sebagai landasan proses monitoring serta evaluasi yang memadai tentang penciptaan lapangan kerja berkualitas tersebut. Berbagai program dan proyek yang menggunakan APBN maupun APBD pada umumnya bersifat parsial yaitu membagikan uang tanpa mampu memonitor perkembangan penciptaan lapangan kerja berkualitas tersebut.

Lebih lanjut, kurikulum pendidikan vokasi yang obsolit serta keberadaan Balai Latihan Kerja (BLK) yang terhitung setengah hati juga perlu segera dibenahi. Di Jerman, Federal Employment Agency memiliki anggaran yang besar sehingga bisa didukung oleh 133.000 orang dibandingkan dengan 2000 an orang yang mendukung employment service & creation. Angka ini bahkan lebih buruk ketimbang era sebelum otonomi daerah. Selain skill mismatch, perusahaan juga masih tampak enggan untuk memanfaatkan jasa employment service mengingat birokrasi pemerintah yang masih sangat tidak efisien.

Diperlukan suatu reformasi institusi ketenagakerjaan yang komprehensif agar mampu menghasilkan sistem insentif yang memadai sehingga memperkuat pasar kerja Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri. Reformasi institusi ketenagakerjaan lebih di arahkan kesebuah kaidah dalam membuat peraturan yang menyeluruh (structure) dan bagaimana peraturan itu bisa diimplementasikan dilapangan (conduct) serta bagaimana peraturan itu efektif menyelesaikan masalah (performance).

Sebagai catatan, pemerintah Indonesia harus membenahi jalur birokrasi, regulasi ketenagakerjaan, dan kinerja infrastruktur untuk bisa bersaing. Sebagai fokus jangka panjang, Indonesia sudah selayaknya  menuju konsep pertumbuhan yang berorientasikan keterbukaan serta inovasi. Model perencanaan ini juga diharapkan dapat berfokus pada sistem inovasi yang mumpuni dalam rangka membangun merk global Indonesia. Hal ini pada gilirannya dapat memperkaya keunggulan komparatif Indonesia yang tidak semata-mata berasal dari hard ware atau hard power. Kedepan, kita membutuhkan kombinasi Quadruple Helix yang terdiri dari Pemerintah, Swasta, Universitas dan Masyarakat yang menghasilkan Payoff terbaik bagi pembangunan Indonesia bukan sekedar pembangunan di Indonesia.

Penguatan struktur industri yang berdaya saing memerlukan peningkatan ketahanan industri dalam negeri dan pengamanan industri baik dari kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang berasal dari dalam dan luar negeri, maupun dari persaingan global yang mengakibatkan kerugian industri dalam negeri. Adanya perubahan lingkungan bisnis global yang cepat akibat perdagangan antar negara yang semakin liberal maupun akibat perubahan hukum/peraturan global (global practices), berdampak pada semakin ketatnya persaingan atas produk-produk industri. Persaingan global yang dihadapi Industri dalam negeri tidak hanya di negara mitra tetapi juga dirasakan di dalam negerinya sendiri. Kurangnya daya saing yang disebabkan biaya ekonomi tinggi dari logistik, infrastruktur dan energi serta bahan baku yang belum tersedia di dalam negeri menambah persaingan menjadi sangat terasa. Terkait dengan tantangan yang semakin mengglobal, Indonesia diharapkan untuk terus mengembangkan potensi industrinya berdasarkan aliansi dengan beberapa negara potensial yang memiliki sumber daya besar dengan menggunakan kerangka kerjasama regional di kawasan Asia dalam rangka melebarkan pasar kedepan.

Referensi

Aswicahyono, Haryo. (2000). How Not to Industrialise? Indonesia’s Automotive Industry. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 36. 209-241.

Hardiana, Sarah dan Fithra Faisal Hastiadi (2019), ‘Overcoming the Middle-Income Trap: The Role of Innovation on Switching onto a Higher Income Group for ASEAN Member States’ in ‘Globalization, Productivity and Production Networks in ASEAN: Enhancing Regional Trade and Investment’. UK,  Palgrave Macmillan.

Henderson, J Vernon, Tim Squires, Adam Storeygard, David Weil (2018), ‘The Global Distribution of Economic Activity: Nature, History, and the Role of Trade’, The Quarterly Journal of Economics, Volume 133, Issue 1, February 2018, Pages 357–406.

Ilmi, Agus Miftahul dan Fithra Faisal Hastiadi (2019), ‘Global Production Networks: Participation and Structural Break’ in ‘Globalization, Productivity and Production Networks in ASEAN: Enhancing Regional Trade and Investment’. UK,  Palgrave Macmillan.

Manning, Chris dan Kurnya Roesad (2007) ‘The Manpower Law of 2003 and its implementing regulations: Genesis, key articles and potential impact’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 43:1, 59-86.

Nurunnisa Amelia dan Fithra Faisal Hastiadi (2017), ‘Real Exchange Rate, Trade Balance and Deindustrialization in Indonesia’ in ‘Towards A Common Goal: Understanding Growth Sustainability of the Asia Pacific Region’. UK,  Palgrave Macmillan.

You may also like...

Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.