Terkini, jelang Pemilu, pemerintah meluncurkan wacana memperpanjang tenor KPR hingga 35 tahun. Kebijakan ini diharapkan akan mendorong kepemilikan rumah oleh masyarakat, bahkan dalam jangka panjang diharapkan akan menghapus backlog.
Wacana skema KPR 35 tahun ini lahir dari terus mahalnya harga rumah sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Dengan memperpanjang tenor KPR diharapkan cicilan KPR akan lebih murah sehingga dapat dijangkau oleh lebih banyak kalangan, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.
Permasalahan perumahan rakyat ini tidak bisa selesai hanya dengan secara sederhana memperbaiki skema KPR saja. Sebagian besar masyarakat, sekitar 82%, memang sudah terkategori memiliki rumah sendiri. Namun sisa sekitar 18% keluarga Indonesia lainnya terkategori belum memiliki rumah.
Dengan jumlah rumah tangga sekitar 67 juta, maka 18% keluarga yang belum memiliki rumah ini setara dengan sekitar 12,7 juta rumah tangga. Inilah fakta mendasar dari kondisi perumahan rakyat kita saat ini, jumlah kekurangan pasokan rumah (backlog) mencapai 12,7 juta unit. Memperbaiki skema KPR dengan memperpanjang tenor hingga 35 tahun tentu sah-sah saja. Namun angka backlog sebesar 12,7 juta tidak mungkin diselesaikan hanya dengan sekedar memperpanjang tenor KPR saja.
Mimpi pemerintah untuk mencapai zero backlog pada 2045 berpotensi besar gagal jika hanya sekedar memperpanjang tenor KPR hingga 35 tahun. Backlog 12,7 juta unit rumah ini berasal dari kelas terbawah, dengan daya beli yang sangat rendah. Dengan skema KPR sesederhana dan seringan apapun, mereka akan selalu sulit dan tidak mampu mengakses pembiayaan perbankan.
Jika kita ingin menghapus backlog 12,7 juta pada 2045, dengan tambahan permintaan rumah sekitar 750 ribu unit per tahun, kita membutuhkan pasokan rumah rakyat setidaknya 1,3 juta unit per tahun. Sedangkan pasokan rumah rakyat saat ini hanya di kisaran 250 ribu unit per tahun. Maka kita membutuhkan sejumlah perubahan fundamental untuk pembangunan perumahan rakyat ini.
Beberapa kebijakan fundamental untuk akselerasi pembangunan 1 juta unit rumah rakyat ini, yang krusial setidaknya 5 hal utama.
Pertama, dikembalikan nya Kementrian Perumahan Rakyat. Sejak penggabungan Kementrian PU dan Kementrian Perumahan Rakyat, pembangunan perumahan rakyat menjadi cenderung terabaikan, kalah dari gemuruh pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi. Alokasi anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat selalu minimalis, termasuk untuk subsidi perumahan rakyat yang hanya di kisaran 250 ribu unit.
Kedua, komitmen untuk penyediaan tanah dan menghapus biaya tinggi dalam pembangunan rumah rakyat, terutama di daerah perkotaan dimana lahan terbatas. Dengan pemberian kemudahan dan insentif, biaya pembangunan rumah rakyat dapat ditekan.
Ketiga, komitmen untuk meminimalkan biaya produksi dan harga jual rumah rakyat, harus diikuti dengan komitmen meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan subsidi, pembebasan PPN, hingga kemudahan akses pembiayaan perbankan, menjadi krusial disini.
Keempat, revitalisasi BUMN untuk akselerasi pembangunan perumahan rakyat, terutama Perumnas, serta PLN dan PDAM untuk jaminan pasokan listrik dan air bersih. Di saat yang sama, dibutuhkan dukungan dari developer swasta terutama melalui kewajiban pembangunan rumah murah.
Terakhir, mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga KPR perbankan nasional. Suku bunga KPR kita saat ini masih sangat tinggi dibandingkan negara lain di kawasan. Bila suku bunga KPR di Singapura hanya di kisaran 3%, di Malaysia 5%, di Thailand 6%, maka di Indonesia di kisaran 10%. Dengan suku bunga KPR tinggi dan umumnya bersifat floating, maka peminjam KPR selain dibebani biaya yang sangat mahal juga beresiko tinggi bila terjadi kenaikan suku bunga di masa depan. Kredit rumah yang sangat mahal dan beresiko tinggi inilah salah satu penyebab utama tingginya angka backlog. Menjadi krusial bagi pemerintah dan OJK untuk mengarahkan perbankan agar terus menurunkan suku bunga KPR dan membuatnya bersifat semakin flat.