Bansos menjadi perhatian utama hakim MK dalam sidang sengketa pilpres 2024. Terkini, MK memanggil 4 Menteri terkait banjir bansos jelang pilpres 2024.
Keterangan 4 menteri dalam sidang gugatan pilpres di MK yang cenderung normatif dan menyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara bansos dan pilpres, adalah mengecewakan meski sejak awal sudah kita duga. Ini tidak mengejutkan. Kita mengapresiasi para hakim MK yang telah berupaya mengelaborasi permasalahan politisasi bansos di pilpres 2024 ini. Namun sayangnya memang kita tidak mendapatkan keterangan yang jernih dan terbuka dari 4 menteri tentang politisasi bansos ini.
Wacana memanggil Presiden ke sidang MK sebenarnya adalah krusial untuk menjernihkan masalah politisasi bansos dalam pilpres 2024 ini. Namun dengan keterangan 4 menteri yang normatif menjadi tidak berguna memanggil Presiden, kita sudah dapat menduga keterangan Presiden akan serupa dan menguatkan keterangan 4 Menteri. Signifikansi kehadiran Presiden adalah jika 4 Menteri memberi keterangan yang jujur dan terbuka atas politisasi bansos, sehingga dengan demikian menjadi urgent bagi hakim MK untuk melakukan pendalaman substantif kepada Presiden atas keterangan 4 Menteri atas politisasi bansos.
Dengan demikian di waktu persidangan tersisa yang sempit ini hakim MK sebaiknya melakukan pendalaman substantif secara mandiri atas politisasi bansos dalam pilpres 2024 ini. Ketersediaan data yang berlimpah atas indikasi politisasi bansos dalam pilpres 2024 mengizinkan hakim MK untuk melakukan pendalaman substantif ini.
Pertama, konflik antara stabilitas makroekonomi dan kegentingan untuk bansos. Pertumbuhan ekonomi 2023 adalah solid di kisaran 5,05%, dengan inflasi hanya 2,31%, terendah dalam 23 tahun terakhir. Demikian pula proyeksi 2024 dimana pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 5,2% dan inflasi 2-3%. Tidak ada kegentingan ekonomi untuk membanjiri masyarakat miskin dengan berbagai bansos ad-hoc di sepanjang 2023 hingga jelang pilpres di Februari 2024, mulai dari Bansos beras, BLT el-nino hingga BLT Mitigasi Risiko Pangan. Dalam kondisi normal, bansos reguler sudah memadai untuk perlindungan sosial . Bansos ad-hoc, terlebih dengan jumlah yang sangat masif, hanya terjustifikasi dengan adanya kegentingan ekonomi seperti pada 2020 di masa pandemi dimana pertumbuhan ekonomi kontraksi -2,07% dan daya beli masyarakat sangat rendah, terutama masyarakat kelas bawah.
Maka anggaran belanja bansos yang sangat besar yang terus dipertahankan meski pandemi telah lama berakhir adalah secara jelas memiliki motif non ekonomi, yaitu motif elektoral. Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. Dengan adanya bansos ad-hoc, yaitu BLT Mitigasi Risiko Pangan bahkan anggaran belanja bansos 2024 yang Rp 152,3 triliun masih akan bertambah Rp 11,25 triliun.
Kedua, korelasi yang kuat antara suara pasangan Prabowo – Gibran dan sebaran penerima bansos. Dengan keluarga penerima manfaat (KPM) bansos mencapai hingga 22 juta keluarga miskin dan rentan miskin, maka bansos berpotensi memberi pengaruh elektoral kepada sekitar 62 juta jiwa calon pemilih, sekitar 30 persen dari total pemilih.
Dari 22 juta KPM bansos, sekitar 60 persen atau 13 juta KPM, bertempat tinggal di Jawa, yang merupakan medan tempur utama pilpres. Dari 204,8 juta DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Pilpres 2024, sekitar 56% ada di Jawa. Pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan 53,6 juta suara di Jawa, sekitar 33% dari total suara sah.
Penerima bansos terbesar adalah provinsi penentu utama pilpres, yaitu Jawa Timur (4,2 juta KPM), Jawa Barat (3,7 juta KPM), Jawa Tengah (3,5 juta KPM), Sumatera Utara (1,17 juta KPM) dan Banten (842 ribu KPM). Di 5 Provinsi ini pasangan Prabowo-Gibran meraih kemenangan signifikan yaitu 65,2% di Jawa Timur, 58,5% di Jawa Barat, 53,1% di Jawa Tengah, 58,3% di Sumatera Utara dan 56,0% di Banten. Pada saat yang sama, dalam pileg, 5 provinsi ini didominasi oleh partai pendukungan pasangan 01 dan 03.
Ketiga, fakta masifnya seremonial pendistribusian bansos yang dilakukan oleh pejabat dari kalangan partai politik yang terafiliasi dengan pasangan 02 mulai dari Menteri Zulkifli Hasan, Menteri Airlangga Hartarto hingga Presiden Jokowi sendiri. Padahal pendistribusian bansos adalah tupoksi Kemensos. Pendistribusian bansos ad-hoc bahkan tidak melalui Kemensos. Tidak ada alasan penyaluran bansos harus didahului dengan seremonial, terlebih lagi seremonial penyerahan bansos langsung dilakukan oleh Presiden dan Menteri dari parpol pendukung pasangan 02.