Setelah program makan siang dan minum susu gratis, kini kembali publik dihentak rencana kenaikan tarif PPN pada 2025 dari kubu Prabowo-Gibran. Kenaikan PPN menjadi 11 persen per April 2022 dan direncanakan akan menjadi 12 persen per Januari 2025 terlihat menjadi kebijakan “jalan pintas” untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.
Kinerja penerimaan perpajakan turun dalam 10 tahun terakhir. Bila di akhir periode Presiden SBY pada 2014 tax ratio ada di kisaran 10,85% PDB, maka di akhir periode pertama Presiden Jokowi pada 2019 tax ratio turun tajam menjadi hanya 9,77% dari PDB. Di waktu yang sama, penerimaan PPN turun dari 3,87% dari PDB pada 2014 menjadi 3,36% dari PDB pada 2019.
Lahirnya UU HPP atau omnibus law perpajakan pada 2021, yang menjadi dasar kenaikan tarif PPN, terlihat untuk mendongkrak kinerja penerimaan perpajakan ini. Pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022, penerimaan PPN meningkat dari 3,25% dari PDB pada 2021 menjadi 3,51% dari PDB pada 2022 dan terakhir menjadi 3,62% dari PDB pada 2023. Namun tax ratio secara keseluruhan hanya meningkat pada 2022, dari 9,12% dari PDB pada 2021, menjadi 10,39% dari PDB pada 2022, sedangkan pada 2023 tax ratio turun menjadi 10,21% dari PDB. Terlihat bahwa kinerja PPN yang meningkat pasca kenaikan tarif justru diikuti menurunnya kinerja pajak lainnya terutama PPh. Penerimaan PPh yang awalnya meningkat dari 4,10% dari PDB pada 2021 menjadi 5,10% dari PDB pada 2022, pada 2023 stagnan menjadi 5,03% dari PDB.
Maka, pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11% pada 2022, terlihat tendensi awal bahwa peran penerimaan PPN dalam penerimaan perpajakan semakin menguat. Jika berlanjut, hal ini akan berpotensi memperburuk kesenjangan pendapatan karena PPN lebih bersifat regresif dibandingkan PPh. PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan masyarakat. Maka, tanpa ada perubahan kinerja penerimaan PPh, rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 berpotensi besar akan memiliki dampak redistributif yang lebih kuat, dengan hasil akhir kesenjangan akan meningkat.
Tarif PPN 10 persen telah bertahan sekitar 4 dekade, sejak 1983 hingga 2021. Kita menyesalkan langkah menaikkan tarif PPN menjadi 11% pada 2022 dan 12% pada 2025, ditengah lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas bawah, dan ditengah belum optimal-nya upaya meningkatkan basis perpajakan terutama basis PPh dari kelas terkaya, yang selama ini under-tax. Menaikkan tarif PPN menjadi terlihat sebagai kebijakan “jalan pintas” untuk meningkatkan kinerja penerimaan perpajakan yang stagnan.
Kenaikan tarif PPN terjadi di tengah tekanan pengeluaran negara yang sangat besar, termasuk PSN dan megaproyek IKN, dan berhadapan dengan tax ratio yang stagnan meski telah melakukan sejumlah besar reformasi perpajakan termasuk tax amnesty. Hal ini membuat kenaikan tarif PPN menjadi terlihat seperti jalan pintas untuk menaikkan tax ratio dan ruang fiskal. Masuknya program populis Prabowo-Gibran yaitu Makan Siang Gratis pada APBN 2025 semakin menguatkan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.
Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 berpotensi akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah dan kelas bawah, serta berpotensi mendorong inflasi. Dampak kenaikan tarif PPN tidak bisa dipandang remeh karena berlaku masif ke hampir semua barang dan jasa, sehingga secara psikologis akan memberi tekanan pada kenaikan harga barang secara umum. Dan yang menanggung beban kenaikan PPN ini adalah konsumen, bukan pengusaha. Tekanan pada kenaikan harga dan daya beli masyarakat tidak akan ringan. Terlebih banyak barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi “kebutuhan pokok” masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, hingga pulsa internet.
Upaya mengejar kenaikan penerimaan negara melalui kenaikan tarif PPN ini juga menjadi ironi karena di saat yang sama pemerintah terlihat justru banyak “mengobral” insentif perpajakan untuk pemilik kapital besar atas nama investasi, mulai dari tax holiday, tax allowance hingga super deduction tax, yang secara jelas hanya dinikmati kelas atas. Kenaikan tarif PPN akan segera dipandang menjadi langkah yang sangat tidak berkeadilan.
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 selayaknya ditunda, bahkan dibatalkan, karena kenaikan penerimaan perpajakan dari PPN ini berpotensi tidak sepadan dengan biaya nya yaitu jatuhnya daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah, potensi inflasi serta potensi meningkat nya kesenjangan. Kelas yang akan terdampak paling besar dari kenaikan tarif PPN ini adalah konsumen kelas bawah dan produsen kelas bawah. Daya beli dan konsumsi masyarakat kelas bawah akan tertekan seiring kenaikan tarif PPN. Di sisi lain, pelaku usaha kecil dan mikro akan tergerus laba usaha-nya karena kenaikan biaya produksi tidak bisa serta merta diikuti kenaikan harga jual produk karena lemahnya daya beli masyarakat terutama kelas bawah yang merupakan konsumen utama dari usaha mikro.