Isu terkait dengan ketahanan pangan yang berkelanjutan merupakan masalah yang kompleks serta multidimensional dialami oleh mayoritas negara di dunia termasuk Indonesia. Isu ketahanan pangan juga menjadi isu yang sering dibicarakan oleh para pembuat kebijakan di tingkat nasional maupun internasional. Namun, ada perbedaan antara ketahanan pangan (food security) dan kedaulatan pangan (food sovereignty) dari segi pendekatan politik (BRIN, 2023). Ketahanan pangan secara sederhananya didefinisikan sebagai kondisi ketika masyarakat memiliki akses yang aman dan berkelanjutan terhadap pangan, baik dari segi jumlah, nutrisi, serta kebutuhannya tanpa memperhatikan dari mana pangan itu berasal. Jadi, pemerintah bisa menyediakan pangan dari proses produksi lokal maupun melalui kebijakan impor.
Konsep kedaulatan pangan diperkenalkan pertama kali dalam kongres The Nation Union of Farmers and Livestock Owner (UNAG) pada tahun 1992. Namun, definisinya menjadi lebih terkenal dalam acara The International Forum on Food Sovereignty pada tahun 2007 di Mali, Afrika Barat sebagai awal yang mempertemukan 500 orang dari 50 benua dan 80 negara membahas hak atas kedaulatan pangan serta implikasinya pada berbagai sektor di dunia (FOEI, 2023). Kedaulatan pangan dilihat dari pendekatan politisnya lebih holistik dan berkelanjutan dalam menangani masalah pangan. Kedaulatan pangan (food sovereignty) terfokus pada perjuangan hak masyarakat menentukan sistem kedaulatan pangan yang menguntungkan bagi masyarakat lokal serta memperhatikan sisi ekologis dalam proses produksi, distribusi, konsumsi. Tidak hanya itu, kebijakan ini juga memperhatikan kondisi sosial, ekonomi, spiritual, dan lingkungan yang berkelanjutan sehingga sumber pangan sangat diperhatikan yakni dari dalam negeri sendiri.