Indonesia akhirnya menyandang status negara berpendapatan menengah atas. Kategorisasi yang disematkan Bank Dunia tersebut berdasarkan pada Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia yang mencapai 4050 USD tahun ini.
GNI sendiri dihitung berdasarkan pendapatan seluruh warga negara Indonesia termasuk yang berada di luar negeri. Berbeda dengan ukuran lain seperti Produk Domestik Bruto (PDB) misalnya, yang menghitung seluruh pendapatan penduduk termasuk warga negara asing di Indonesia.
Secara konsep, perhitungan GNI yang menitikberatkan pada pendapatan warga negara Indonesia lebih baik dalam menggambarkan kesejahteraan penduduk dibandingkan PDB.
Presiden Joko Widodo mengakui bahwa pencapaian ini tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Banyak negara dunia ketiga, yang menurut presiden, terjebak ke dalam status negara berpenghasilan menengah (middlde income trap).
Agar Indonesia keluar dari jebakan tersebut, presiden menyebut bahwa infrastruktur negara haruslah efisien, tenaga kerja didorong agar kompetitif, dan strategi ke depan adalah memprioritaskan pembangunan manusia yang unggul, produktif, dan inovatif.
Memetik Buah Ekonomi Bonus Demografi
Apa yang dikatakan presiden tersebut sangatlah kontekstual dengan situasi saat ini. Pasalnya, Indonesia tengah memasuki fase transisi demografi ditandai pertumbuhan usia produktif (15-64 tahun) melampaui jumlah penduduk usia muda (di bawah 15 tahun) dan penduduk lanjut usia (di atas 64 tahun). Perubahan struktur usia penduduk ini disebut sebagai bonus demografi yang membawa dua keuntungan sekaligus.
Keuntungan pertama, bonus demografi mengurangi beban ekonomi negara karena populasi penduduk non-produktif semakin kecil. Keuntungan kedua, roda perekonomian justru semakin terpacu karena kontribusi ekonomi dari penduduk usia produktif yang sedang tumbuh. Namun, bonus demografi sendiri tidak serta-merta menghasilkan keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan tiga indikator: pasokan tenaga kerja (labor supply), kapasitas tabungan (saving), dan kualitas SDM (human capital) (Bloom et al, 2003).
Pertama, indikator pasokan tenaga kerja yang dimaksud adalah kapasitas pasar tenaga kerja dalam menyerap penduduk usia kerja. Kedua, tabungan adalah budaya masyarakat dalam menyisihkan selisih dari penghasilannya. Tabungan juga dapat dilihat dalam konteks makro di mana negara menyediakan tabungan nasional saat penduduk usia kerja memasuki masa pensiun (wujudnya dalam bentuk jaminan sosial). Ketiga, indikator SDM yang dimaksud adalah pengembangan kualitas pendidikan dan kesehatan dari manusia itu sendiri.
Indonesia saat ini masih butuh kerja keras untuk memenuhi indikator di atas agar meraih keuntungan ekonomi dari bonus demografi. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan penurunan penyerapan tenaga kerja dari investasi PMDN dan PMA dalam empat tahun terakhir di tiap kuartal II. Kuartal II tahun 2015 penyerapan sebesar 370.945, kuartal II tahun 2016 sebesar 354.739, kuartal II tahun 2017 sebesar 345.293, dan kuartal II tahun 2018 sebesar 289.843. Pada kuartal II tahun 2019, jatuh menjadi 235.314. Dengan rendahnya penyerapan tenaga kerja, tingginya penduduk usia kerja justru menjadi pukulan telak bagi pemerintah karena pengangguran semakin meningkat.
Peringkat investasi di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan (human capital) juga saat ini masih berada di peringkat 131 dibanding negara lainnya. Peringkat yang berdasarkan data tahun 2016 itu justru mengalami penurunan sejak 1996 yang ketika itu berada di peringkat 130 di dunia. Begitupun pada tingkat tabungan (saving rate) yang masih cenderung rendah. Rata-rata dalam satu rumah tangga di Indonesia memiliki tingkat tabungan 8,5 persen dari total pendapatan. Angka ini berada di bawah dari tingkat tabungan yang diharapkan per rumah tangga yaitu 20 persen dari pendapatan.
Dengan struktur ekonomi di atas, buah dari bonus demografi akan sulit untuk diraih melalui sisi produksi. Sebaliknya, pendongkrak pertumbuhan ekonomi akan lebih cenderung berasal dari sisi konsumsi, yang menurut Wasisto Raharjo Jati (2015) adalah sebab kebangkitan kelas menengah Indonesia. Kelas menengah ini masih sangat rentan karena daya beli konsumsi yang belum kokoh, dan mudah terperangkap dalam middle income trap seperti yang dialami Malaysia, Thailand, dan Filipina (Jati, 2015). Senada dengan itu, McDonald (2014) juga menyebut bahwa Indonesia harus lebih intensif dalam kebijakan mengenai investasi di aspek human capital. Investasi Indonesia dalam aspek pendidikan dan kesehatan, meskipun mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, tetapi masih belum memadai untuk memanfaatkan bonus demografi.
Akhir Bonus Demografi
Bonus demografi diprediksi akan berakhir pada 2035 mendatang. Artinya, agar buah manis dari bonus demografi dapat dipetik, Indonesia harus segera menyelesaikan persoalan tenaga kerja, saving rate, dan kualitas pembangunan manusianya. Namun masalahnya tidak berhenti sampai di sana. Berakhirnya bonus demografi menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia akan melampaui jumlah penduduk produktif, sedangkan penambahan usia produktif semakin melambat. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena tingkat kelahiran bayi-bayi baru ke depan akan semakin lambat. Padahal, bayi yang baru dilahirkan sekarang akan memasuki usia produktif paling tidak 15 tahun ke depan.
Pertumbuhan penduduk lanjut usia yang tidak seimbang akan menambah beban bagi negara. Dengan demikian, Indonesia akan mengalami lewis turning point di mana lonjakan penduduk usia produktif akan berkurang. Bisa dibayangkan, penduduk lanjut usia yang kehidupannya bergantung pada mereka yang berusia produktif semakin banyak jumlahnya. Sedangkan penduduk usia produktif yang membiayai para lanjut usia tersebut justru jumlahnya lebih sedikit. Siapa yang akhirnya harus menanggung ketidakseimbangan ini kalau bukan negara?
Negara industri seperti Jepang telah mengalami fase lewis turning point ini bahkan sejak 1960-an hingga 1970-an, dan pertumbuhan penduduk lanjut usia semakin melejit hingga 1990-an. Selama dua dekade itu pula pertumbuhan penduduk usia produktif mengalami stagnansi. Dampaknya sangat dirasakan terhadap perekonomian Jepang, di mana negara ini mengalami pertumbuhan PDB yang anjlok dari sebelumnya mencapai 9,2 persen menjadi 3,8 persen pada 1970-an hingga 1990-an. Bahkan pertumbuhan PDB Jepang masih terus anjlok menjadi hanya di kisaran 0,8 persen hingga 2010. Bayangkan jika Jepang yang saat itu sedang melesat tumbuh tidak segera menginvestasikan pada pembangunan manusia, bisa jadi ekonomi Jepang akan runtuh.
Tentu mimpi buruk itu tidak boleh terjadi di negara kita. Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia adalah sebagaimana yang disebut oleh presiden itu sendiri, yaitu menumbuhkan tenaga kerja kompetitif dan SDM unggul. Kalau tidak, status Indonesia berpendapatan menengah ke atas tidak memiliki makna apa pun karena fundamental perekonomian yang berarti kualitas manusianya itu sendiri masih rendah.
Grady Nagara. Peneliti Next Policy
Artikel ini telah dipublish di https://kumparan.com/grady-nagara/jebakan-di-balik-bonus-demografi-1tl0HUfvMTX pada tanggal 7 Juli 2020 13:16