Dalam beberapa waktu terakhir, publik diresahkan oleh rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek yang terungkap dalam dokumen Nota Keuangan 2025. Di tengah kebutuhan yang semakin besar terhadap transportasi massal yang aman, nyaman dan terjangkau di kawasan metropolitan, pemerintah atas nama perbaikan skema public service obligation (PSO), merilis rencana penerapan tiket elektronik berbasis NIK (Nomor Induk Kependudukan) untuk pengguna KRL Jabodetabek. Perubahan skema PSO KRL Jabodetabek ini bertujuan agar “subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran”.
Rencana perubahan skema subsidi tiket KRL berbasis NIK ini adalah memprihatinkan. Skema ini akan membuat sebagian besar penumpang KRL harus membayar lebih mahal. Dengan kata lain, perubahan skema subsidi tarif KRL ini serupa dengan kenaikan harga tiket KRL. Rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek adalah ironi besar di tengah rendahnya daya beli masyarakat, jatuhnya kelas menengah serta konflik dengan tujuan penurunan kemacetan perkotaan dan target emisi.
KRL Jabodetabek sejak lama telah menjadi moda transportasi masyarakat yang sangat merakyat karena tarif-nya yang sangat terjangkau. KRL Jabodetabek telah menjadi angkutan massal bagi rakyat megapolitan untuk bekerja dan bersekolah. Pada 2014, daya angkut KRL Jabodetabek adalah 571 ribu penumpang per hari. Pada 2019, angka ini telah mendekati 1 juta penumpang per hari. Pasca pandemi, daya angkut KRL Jabodetabek perlahan pulih dan kini kembali mendekati 1 juta penumpang per hari.