Fithra Faisal Hastiadi. Ph.D.
Dalam breakfast meeting pagi ini, para ekspatriat, ceo multinationals, sempat khawatir mengenai isu PPN yang heboh. penjelasan saya sebagaimana yang saya bagikan tangkap layar.
bisa dimaklumi pemerintah ingin mengamplas defisit apbn di masa depan yang bengkak akibat stimulus besar sepanjang tahun. supaya lebih berdikari, tidak terlalu tergantung pada pembiayaan luar negeri, maka mekanisme perluasan objek pajak ini secara teknis dapat diterima.
tentu perluasan ini tidak tiji tibeh, meskipun sudah dikeluarkan dalam non barang kena pajak (bkp) dan non jasa kena pajak (jkp), produk2 ini bisa diperlakukan berbeda. melalui mekanisme tarif tunggal, semua bisa rata kena. tapi sebagaimana diskusi dengan pak yustinus prastowo tempo lalu dalam acara polemik trijaya FM, pemerintah berencana menerapkan tarif multi. artinya ada yang kena tarif rendah ada yang tinggi. dan tidak hanya itu, barang2 yang banyak dikonsumsi masyarakat menengah bawah bisa dikasih tarif nol alias tidak dipajaki, meski menjadi objek PPN. tujuan lain, adalah untuk memasukkan semua ini dalam sistem, meski tidak kena pajak, tetapi peredarannya bisa dipantau, bagus untuk intervensi kebijakan di masa mendatang.
tapi dilalah dokumen bocor, jadilah kemudian asosiasinya menjadi pajak sembako, yang mana pada prakteknya tidak demikian. tetapi warga net tidak bisa disalahkan, mengingat minimnya penjelasan ketika dokumen bocor apalagi naskah akademiknya. persepsi warga net terhadap pajak memang sudah terlanjur negatif, mengingat dari efek distributifnya mungkin tidak terlalu kerasa.
nah meskipun dalam penjelasan saya diatas, perluasan objek pajak ini dapat dipahami, tetapi ada berbagai kompleksitas
1. ada potensi sektor informal meluas, mengingat keengganan mereka untuk masuk radar-masalah persepsi dan ekspektasi, bukan sekedar wilayah teknis
2. dalam khasanah pembuatan kebijakan, patron kebijakan harusnya jelas. apakah countercyclical atau procyclical, keduanya sahih dan punya basis yang kuat. asalkan komit dan kredibel, indikator makro akan mengarah positif.
kebijakan pemerintah seemingly contercyclical, bagus dalam mengarahkan indikator makro setidaknya sampai awal tahun ini. salah satu yang cukup penting, mengacu pada argumen ekspektasi rasional dari robert lucas, faktor ekspektasi dari kelompok menengah keatas ini sangat perlu diperhatikan, untuk boosting growth via konsumsi. Indeks keyakikan konsumen sebenernya sudah menunjukkan bahwa paradox of thrift sebagai konjungsi dari pandangan keynes, perlahan lumer karena persepsi risiko 2021 sudah lumer. tetapi dengan adanya isu kenaikan pajak, faktor ekspektasi negatif ini akan kembali muncul, memunculkan isu kredibilitas pembuat kebijakan yang patronnya sumir. akhirnya ini akan memicu apa yang disebut oleh barro and gordon sebagai self fulfilling expectation, the cost of losing credibility. pada akhirnya, kondisi ricardian equivalence akan muncul
“the ricardian equivalence may come true. the reason why the willingness to spend for the middle up is still low-ricardian equivalence. it serves only in paedogogical manner but now it seems relevant. RE is an economic theory says that excessive government spending will be finaced with future taxes. this is how the rational spender expect. and now is true, they will hoard the money” akhirnya target tidak tercapai.
mengenai ekspektasi, saya tulis disini
https://m.mediaindonesia.com/kolom-pakar/409975/menjaga-ekspektasi-memanfaatkan-momentum
3. dalam ranah rantai nilai pasok, hal ini akan memberikan disinsentif bagi produsen untuk bergerak ke rantai nilai yang lebih tinggi. memudarkan harapan indonesia untuk lebih partisipatif dalam global value chain, lihat buku saya;
https://www.palgrave.com/gp/book/9783030165093
dalam konteks barang tambang juga begitu, menjadi perintang untuk merangkak ke produk yang lebih bernilai tambah dan ramah lingkungan
4. memang bisa saja dibuat pengecualian2, tetapi sepertinya akan sulit karena memang sifat ppn yang objektif, tidak pandang bulu. mungkin ada baiknya fokus ke pph yang memang bisa lebih subjektif.