Takwil Siklus Komoditas

Berikut adalah kolom tinjauan perdagangan yang saya tulis untuk majalah warta pengkajian perdagangan. tulisan di caption ini adalah versi original yang dibuang sayang. tampaknya tim penyunting tidak memiliki frekwensi bahasa yang sama dengan sang penulis :grinning:

semoga bermanfaat

————————-

Takwil Siklus Komoditas
Fithra Faisal Hastiadi
Dosen FEB UI
Direktur Eksekutif Next Policy

Karena kemampuannya mentakwil mimpi Raja mesir, Nabi Yusuf tak hanya lepas dari penjara tapi dihadiahi jabatan mentereng sebagai bendaharawan negara. Mimpi yang ditakwil Nabi Yusuf bukan sekedar bunga tidur, tetapi adalah sebuah indikator penanda sempit dan luas ekonomi mesir dan daerah sekitarnya selama 14 tahun kedepan. Takwil Nabi Yusuf tersebut tentu membuat gelisah, karena akan ada 7 tahun makmur yang akan berganti 7 tahun derita. Jika ada yang mencatat, mungkin ini adalah peristiwa penerawangan ekonomi terpanjang sepanjang sejarah. Jika biasanya kami para ekonom hanya bisa menerawang kondisi ekonomi paling panjang 5 tahun kedepan dengan derajat prediksi yang semakin berkurang seiring bertambah waktu, penerawangan 14 tahun dengan akurasi 100 persen ala Nabi Yusuf ini adalah sebuah hal yang musykil dilakukan didunia modern, meski dipandu oleh rentetan seri data besar. Jangankan menerawang 5 tahun, untuk penerawangan singkat selama setahun kalender saja masih sering meleset.
Mesir yang kesohor di masa itu, berhasil melakukan perencanaan ekonomi yang signifikan dengan berhemat dikala makmur dan mengeluarkan stok produksi dikala sulit. Dengan demikian, Mesir tidak terlena oleh tren positif sembari mempersiapkan diri untuk tren negatif. inilah strategi bersiasat ditengah siklus, paradigma yang dipakai adalah jangka menengah dan panjang.


Namun, meski kejadian terus berulang, seringkali para pembuat kebijakan terjebak dalam myopia alias sempit pandang melihat tren sesaat.
Jika direnceng sejak awal tahun 1900 an, sedikitnya sudah empat kali dunia siklus komoditas, bagaimana dengan periode sebelumnya? mungkin ada namun tidak tercatat. Selepas peristiwa siklus komoditas di zaman Nabi Yusuf, sangat bisa diduga ada beberapa kali siklus lanjutan yang ferjadi dari zaman ke zaman, tetapi sulit untuk terdokumentasikan dengan baik. Untuk ekonom mahsyur sekelas John Maynard Keynes saja hanya bisa melakukan conjecture karena data runtun waktu yang sangat terbatas. Setelahnya memang ada Simon Kuznets yang berhasil mengumpulkan data cukup panjang dimana dari basis ini dia mendapatkan basis empiris yang diganjar nobel bidang ekonomi. tetapi Kuznets pun hanya bisa menarik garis antar waktu dalam rentang 1865 hingga 1925. Jelasnya, yang tercatat sudah ada peristiwa empat super siklus komoditas.

Terkini, menurut basis data bloomberg, perbincangan mengenai tren super siklus ini mencapai titik puncaknya pada tahun 2021 ini dan belum benar-benar reda hingga sekarang. Jika kita melihat data harga komoditas, beberapa komoditas utama yang secara tradisional mendominasi tren makro komoditas seperti minyak bumi, produk pertanian, logam dasar, batubara dan produk peternakan memang sedang dalam tren menyentuh langit, tapi apakah ini adalah indikasi awal tren supersiklus? jangan-jangan ini hanya tren yabg hangat diperbincangkan tanpa punya basis yang solid.
Melihat sejarah, tren super siklus selalu diwarnai oleh gejolak ekstrem yang menghantam baik dari sisi supply maupun demand. Disrupsi signifikan dari era revolusi industri pertama dan kedua mengawali tren supersiklus pada tahun 1899-1932. sementara tren yang berlanjut setelahnya dalam rentang tahun 1933-1961 dipicu oleh perang dunia dan juga depresi besar yang melanda dunia. pada periode ini lah Keynes kesohor dengan pola intervensi jangka pendeknya untuk menyelamatkan perekonomian ketika itu. Teen supersiklus yang berikutnya terjadi pada tahun 1962-1995, yang dipantik oleh perkembangan revolusi industri ketiga, dimana perkembangan komputer dan chip menjadi penghela efisiensi produksi terutama di negara-negara seperti Jepang dan Eropa.dalam periode ini diearnai oleh aktivitas pelibatan negara-negara second tier dan third tier dalam menopang jaringan produksi global, merujuk pada Model angsa terbang ala Akamatsu di tahun 1960-an.


Berkembangnya jaringan rantai produksi Jepang sejak tahun 1960 an yang ditopang oleh negara-negara semisal China dan Korea Selatan, ternyata memicu gelombang besar berikutnya. Dengan China yang berhasil menggunakan limpahan manfaat yang signifikan dari keterlibatannya di Jaringan rantai produksi Jepang, perlahan tapi pasti China memulai untuk memunculkan model jaringan rantai produksi baru. Hal ini secara signifikan berhasil membuat era industrialisasi agresif di china memasuki awal abad 21. peristiwa ini kemudian mengawali tren supersiklus berikutnya dalam rentang tahun 1996-2012. periode ini turut diwarnai oleh dua kejadian krisis finansial pada tahun 1998 dan 2008 yang membuat tren supersiklus semakin menjadi. Lantas, apakah sekarang kita sudah memasuki periode supersiklus baru? jika dilihat faktor pemantik, pandemi besar sepertinya bisa saja menjadi faktor ekstrem yang signifikan dalam menciptakan periode supersiklus berikutnya.


Sesempit data yang saya tangkap, kalaupun belum layak dinamakan supersiklus, setidaknya seperti yang telah diungkap sebelumnya, tren harga komoditas memang sudah mulai menanjak secara rombongan, membentuk pola makro yang cukup kentara, sehingga bisa saja ini dijadikan indikasi awal dari supersiklus. Meskipun sejatinya gejolak ini sebenarnya bukan hal yang terlalu mengejutkan. Pada 2020, di awal Mei saya sempat mengirimkan notifikasi ke Menteri Perdagangan mengenai ragam potensi risiko ekonomi yang akan mengemuka. Dalam memo tersebut, saya sampaikan kekhawatiran akan adanya decoupling, antara demand dan supply seiring dengan proses pemulihan di masa pandemi. Beberapa risiko yang mungkin muncul ialah naiknya harga pangan, energi, dan komoditas pada umumnya akibat berebut sumber daya yang langka. Hal itu dimungkinkan akibat terjadinya pertumbuhan yang disproporsional antara demand dan supply. Demand terkerek dari rencana stimulus, terutama dari negara-negara besar, sementara supply lambat menyesuaikan karena karakteristik adaptasi untuk segera melaju tidak secepat daya adaptasi dari sisi demand. Butuh waktu untuk menjalankan industri, merekrut kembali pekerja, menjalankan logistik yang mandek, dan seterusnya. Fenomena yang kita hadapi sekarang ialah tren harga komoditas yang tinggi mengangkasa, serta negara negara besar seperti Tiongkok dan India yang bahkan sudah semakin sulit mencari energi.

Untungnya untuk Indonesia, setidaknya dalam jangka pendek ini, faktor pembentuk gejolak ekonomi yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan komoditas lainnya tidak sedominan covid-19, tetapi patut diwaspadai jika tren ini kemudian memicu imported inflation yang berlebihan. Secara teknis, menurut perhitungan kami, sumbangannya ialah 0,64% dari batu bara dan 7,88% dari minyak bumi. Namun, patut diwaspadai jika variabel itu kemudian menjalar kepada faktor inflasi dari jalur imported inflation. Jika itu yang terjadi, gejolak dari sisi inflasi akan memiliki daya rusak yang hampir serupa dengan covid-19. Setiap gejolak dari jalur inflasi dapat menyebabkan PDB terkontraksi sebesar -0,66% pada dua kuartal selanjutnya dan responsnya tetap negatif sampai delapan kuartal berikutnya. Jangan sampai kemudian eksportir komoditas, misalnya batu bara, tergiur untuk ekspor berlebihan sehingga membuat pasokan dalam negeri menjadi sangat terbatas sehingga mempercepat tren inflasi ini. Disisi yang lain apabila kita melihat secara spesifik lewat jalur ekspor komoditas, pemanfaatan ekspor ini dijangka pendek memang akan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi kontribusinya bisa dibilang tidak terlalu besar, dan jangka waktu pemanfaatanya relatif terbatas. Usaha untuk menggenjot ekspor komoditas lantas agan diganjar respon negatif terjadap pdb mulai dari ekspor kuartal ke-3 hingga ke-8 dengan respon terbesar -0.465% pada kuartal keempat.Transmisi ini cukup realistis karena usaha menggenjot ekspor komoditas menilik pada sejarah runtun waktu, hanya akan menciptakan tekanan dari sisi input produksi dan arus pembalikan industri. Patut dicatat tren kenaikan harga komoditas sifatnya transitory alias sempit waktu. Jangan sampai kebijakan ekonomi kemudian balik arah kembali bergantung pada komoditas dan melupakan industrialisasi. Prebisch dan Singer sudah jauh hari mewanti-wanti, bahwa ketergantungan secara berlebihan kepada komoditas yang bernilai tambah minimal hanya akan berbuah derita di masa depan, sebabnya?

Penggerusan ekonomi berbasis sumberdaya alam di jangka panjang. Banyak yang menjuuki fenomena ini sebagai kutukan komoditas, terlena keberlimpahan tetapi lupa membenahi fondasi dasar perekonomian. Jangan sampai kutukan ini kemudian berujung Kiamat ala Malthus.
Dalam beberapa bulan terakhir memang kita sudah sangat diuntungkan oleh tren ini, surplus perdagangan tak henti mencetak rekor akibat dari terkereknya harga-harga komoditas ini. Untungnya pemerintah sudah cukup belajar, tidak terlalu silau pada tren sesaat. Pembangunan Industri bernilai tambah tinggi tetap menjadi prioritas. Usaha fasilitasi indutri, hilirisasi, penciptaan nilai tambah masih nampak berjalan, meski godaan komoditas masih terus menyala.

Memang tidak ada lagi ekonom sekaliber Nabi Yusuf, sang Bendaharawan mesir termahsyur, yang mampu mentakwil secara akurat siklus yang akan terjadi, tetapi setidaknya kita dilimpahi data sejarah yang mampu memandu kita dalam berstrategi, merumuskan kebijakan-kebijakan yang memadai. Jika memang kebijakan masih terperangkap myopia, ada baiknya sudah mulai memakai alat penjernih penglihatan.

You may also like...

Popular Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.