Secara sangat mendadak, pemerintah memutuskan pemberian bansos tambahan baru, yaitu BLT Mitigasi Risiko Pangan untuk Januari – Maret 2024, yang akan diberikan sekaligus di awal Februari 2024, hanya sepekan jelang pilpres. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sangat dipaksakan karena direncanakan, diputuskan dan dieksekusi dalam waktu yang sangat singkat. Kebijakan ini bahkan menjadi terlihat seperti kebijakan kalap karena penguasa terlihat jelas sedang mengejar ambisi politik pragmatis jangka pendek melalui gelontoran bansos ad-hoc tiada henti sejak tahun lalu hingga kini jelang pilpres. Pemberian BLT setelah gelontoran bansos, selain bansos reguler juga bansos ad-hoc, yang tiada henti dalam setahun terakhir, jelas bukan upaya penanggulangan kemiskinan, bukan pula kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat, namun lebih mencerminkan hasrat politik yang tak tertahankan untuk meraih dukungan elektoral secara instan dalam pilpres 2024 yang sudah di depan mata.
Inflasi 2023 tercatat rendah yaitu 2,61%, terendah dalam 23 tahun terakhir. Namun demikian inflasi pangan (volatile food) masih tercatat cukup tinggi yaitu 6,73%. Jadi memang benar ada potensi pelemahan daya beli masyarakat kelas bawah yang menghabiskan sekitar 60% pengeluaran nya untuk pangan.
Namun resiko ini sebenarnya sudah relatif tertanggulangi oleh bansos reguler seperti PKH, BPNT, KIP hingga BLT Desa. BLT Desa yang sebenarnya adalah bansos ad-hoc di masa pandemi, seolah kini menjadi bansos reguler karena terus diadopsi meski pandemi telah lama berlalu.
Lebih jauh, di sepanjang 2023 pemerintah juga menggulirkan berbagai bansos ad-hoc tambahan, nyaris tiada henti, mulai dari bansos beras antara April – Desember 2023 yang kemudian diperpanjang hingga Juni 2024, kemudian BLT el-nino pada November-Desember 2023 dan kemudian diperpanjang hingga kuartal I 2024, dan kini BLT Mitigasi Resiko Pangan untuk Januari – Maret 2024. Deras nya bansos ad-hoc jelang pilpres jelas sangat bermotif politik pragmatis jangka pendek, dan dengan menggunakan anggaran negara.
Politisasi Bansos
Kita sangat prihatin dengan politisasi bansos yang dipertontonkan dengan sangat vulgar oleh penguasa. Prinsip dasarnya bansos adalah kewajiban negara kepada warga negara yang tidak memiliki kemampuan mencukupi kebutuhan dasar mereka karena kefakiran, kemiskinan dan keterlantaran. Maka bansos adalah hak masyarakat miskin, terutama kelompok marjinal seperti warga lansia dan penyandang disabilitas, dan sudah menjadi tugas negara untuk melindungi setiap warga negara.
Namun kini bansos di politisasi secara vulgar untuk kepentingan elektoral jangka pendek jelang pemilu. Politisasi bansos terlihat menguat signfikan di era Presiden Jokowi dimana Presiden sangat aktif terlibat dalam penetapan kebijakan bansos, bahkan secara berlebihan terlibat dalam teknis seremonial pendistribusian bansos.
Motivasi elektoral untuk politisasi bansos juga telah mendistorsi substansi dan arah besar kebijakan penanggulangan kemiskinan yang seharusnya berfokus pada pemberdayaan ekonomi rakyat (UMKM) dan penciptaan lapangan pekerjaan yang berkualitas secara luas, bukan terus memperbesar dan memperluas bansos.
Pembengkakan Anggaran Bansos
Bansos seharusnya semakin kecil cakupannya seiring perbaikan kesejahteraan masyarakat, bukan justru semakin meluas ditengah perekonomian yang diklaim semakin baik. Eksistensi bansos adalah karena adanya kondisi “darurat” kemiskinan seperti mempertahankan tingkat konsumsi minimal dan mencegah masyarakat jatuh pada kemiskinan yang lebih dalam, atau menguatkan daya beli kelas bawah. Karena itu prinsip dasarnya bansos bersifat temporer dan akan dihentikan dan direalokasi ke penerima baru yang lain ketika penerima lama sudah tidak lagi membutuhkan, yaitu ketika kesejahteraan nya telah meningkat.
Maka menjadi sebuah keanehan, ditengah klaim pertumbuhan ekonomi tinggi namun cakupan bansos justru semakin besar dan luas secara sangat signifikan. PKH misalnya, hingga akhir periode Presiden SBY pada 2014 hanya memiliki 2,7 juta keluarga penerima. Namun hanya 4 tahun kemudian pada 2018, penerima PKH berlipat menjadi 10 juta keluarga penerima. Seiring perluasan bansos ini maka anggaran belanja bansos melonjak signifikan dari Rp 49,6 triliun pada 2016 menjadi Rp 112,5 triliun pada 2019. Anggaran belanja bansos yang sangat besar terus dipertahankan meski pandemi telah berakhir. Anggaran belanja bansos pada 2023 diproyeksikan Rp 146,5 triliun dan pada 2024 Rp 152,3 triliun, jauh meningkat dari anggaran sebelum pandemi yang hanya Rp 112,5 triliun pada 2019. Dengan adanya BLT Mitigasi Risiko Pangan ini maka anggaran belanja bansos 2024 yang Rp 152,3 triliun akan bertambah Rp 11,25 triliun.
Maka jumlah penerima bansos seperti PKH dan juga BPNT yang terus dipertahankan besar, dan kini jelang 2024 ditambah luas dengan bansos ad-hoc yaitu bansos beras, BLT el-nino dan kini BLT mitigasi resiko pangan, ini bukan indikasi tingginya komitmen penanggulangan kemiskinan, namun lebih menandakan besarnya motif politisasi bansos untuk mendapatkan keuntungan elektoral sekaligus menandakan lemahnya upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan penciptaan lapangan kerja.